MENGENAL GREENWASHING, PENGHIJAUAN YANG TAK RAMAH LINGKUNGAN

Greenwashing: Ketika Realita Tak Sehijau Kata-Kata


Pernahkah Anda melihat iklan di jalan, televisi, atau internet mengenai klaim suatu produk yang menyatakan bahwa produk tersebut ramah lingkungan? Biasanya, ada penjelasan yang mendukung klaim tersebut. 

Contohnya adalah menggunakan kata-kata seperti sustainable dan biodegradable atau memasukkan gambar pohon dalam tampilan produknya. Yang membuatnya aneh, kadang klaim seperti ini keluar dari perusahaan yang sudah jelas diketahui merusak lingkungan. 

Melalui iklan-iklan tersebut, perusahaan berupaya untuk terlihat ‘lebih hijau’. Tindakan inilah yang sering disebut sebagai greenwashing.


Pada dasarnya, greenwashing adalah suatu strategi pemasaran dan komunikasi suatu perusahaan untuk memberikan citra yang ramah lingkungan, baik dari segi produk, nilai, maupun tujuan perusahaan tanpa benar-benar melakukan kegiatan yang berdampak bagi kelestarian lingkungan. 

Strategi greenwashing dijalankan dalam bentuk iklan, promosi, atau event yang bertemakan ramah lingkungan. Melalui citra ‘hijau’ yang dibentuk ini, diharapkan konsumen memiliki pandangan yang lebih baik terhadap perusahaan dibandingkan produk lain di sektor yang sama, sehingga perusahaan mengalami peningkatan profit. Padahal, di balik peningkatan profit tersebut, terjadi pula peningkatan permintaan yang merusak lingkungan.

Namun, greenwashing bukanlah dosa perusahaan saja. Greenwashing dapat terjadi akibat kesalahan keseluruhan sistem, baik dari sisi perusahaan sebagai produsen, masyarakat sebagai konsumen, pemerintah sebagai regulator, serta kebutuhan pasar. 

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, perusahaan membentuk citra ramah lingkungan sebagai strategi komunikasi dan pemasaran yang baik. Tentunya, wajah ramah lingkungan menjadi perlu karena adanya tekanan dari pasar oleh investor, kompetitor, dan konsumen. 

Sayangnya, pihak penekan ini terkadang tak mementingkan cara yang ditempuh demi mencapai tujuan baik itu. Banyak konsumen yang mendukung gerakan ramah lingkungan tanpa menganalisis terlebih dahulu tindakan yang diambil produsen. Hal ini disebabkan konsumen yang terlalu optimis terhadap apa yang ditawarkan produsen serta memiliki pemahaman yang sempit mengenai kepedulian lingkungan. 

Sementara itu, di sisi regulasi, peraturan yang ada masih longgar untuk mengatur gerakan lingkungan. Hal ini diikuti oleh regulator yang masih belum memberikan ruang partisipasi organisasi, LSM, maupun aktivis lingkungan dalam proses pengawasan, penjaringan aspirasi, serta pembuatan regulasi lingkungan, terutama mengenai greenwashing. Kondisi tersebut memberikan keleluasaan bagi pelaku untuk melakukan greenwashing.

Greenwashing juga dilatarbelakangi oleh kewajiban perusahaan untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (SDG), yaitu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang ditentukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tindakan greenwashing dapat membuat suatu perusahaan terkesan sustainable dalam laporan pertanggungjawabannya terhadap SDG. 

Greenwashing dapat dilakukan dengan membesar-besarkan dampak yang sebenarnya kecil, memasukkan aktivitas yang padahal normal dilakukan perusahaan sebagai inovasi untuk mencapai SDG, atau bahkan menyisipkan hal yang tidak berhubungan dengan capaian tersebut. 

Sebagai contoh, dalam target SDG 12.5, tertulis “Pada tahun 2030, secara substansial mengurangi produksi limbah melalui tindakan pencegahan, pengurangan, daur ulang dan penggunaan kembali”. Demi tercapainya target ini, perusahaan berpotensi melakukan greenwashing dengan menyebutkan bahwa produknya dapat didaur ulang dan digunakan kembali. Faktanya sendiri tidak sesuai dengan klaim mereka.

Greenwashing sendiri sudah berkali-kali dilakukan oleh perusahaan Indonesia tanpa kita sadari. Contohnya, salah satu perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) besar di Indonesia meluncurkan kemasan botol dari plastik 100% daur ulang di salah satu provinsi Indonesia dengan target dapat digunakan untuk seluruh provinsi pada tahun 2025. 

Perusahaan menyatakan bahwa telah mengumpulkan 12.000 ton sampah botol plastik tiap tahunnya untuk proses daur ulang. Meski terdengar sebagai langkah besar untuk mengurangi sampah, terutama sampah botol plastik, hal ini dapat dikategorikan sebagai greenwashing ketika melihat sisi lain dari perusahaan dan gerakan ini.

Pertama, perusahaan yang bersangkutan diduga melakukan eksploitasi sumber mata air besar-besaran hingga daerah di sekitar pabriknya kerap mengalami kekurangan air bersih. 

Kedua, jumlah botol plastik yang dinyatakan dikumpulkan dan didaur ulang masih jauh dari jumlah botol plastik yang dihasilkan Indonesia setiap tahunnya, sekitar 4,86 miliar sampah botol plastik. 

Padahal, produk perusahaan ini juga diketahui menjadi salah satu kontributor sampah botol plastik terbesar di Indonesia, yaitu sekitar setengah dari sampah botol plastik nasional. Upaya untuk meningkatkan jumlah sampah yang dikumpulkan, seperti menambah jumlah recycling plant dan penyebaran dropbox, juga masih minim dan tidak merata untuk seluruh wilayah. 

Selain itu, kemasan 100% daur ulang (yang bahkan belum bisa dipastikan kebenaran klaimnya) ini hanya hadir untuk satu ukuran botol saja: kemasan ukuran 600 ml. Sementara, ukuran kemasan lainnya, yang padahal juga berkontribusi bagi sampah plastik, masih diproduksi menggunakan botol yang lama. Selektivitas dalam upaya ‘hijau’ ini menjadi salah satu ciri dari greenwashing. 

Terakhir, jika perusahaan benar-benar ingin mengurangi sampah plastik, mengapa tidak melakukan pengisian ulang saja? Baik dengan lebih mempromosikan varian galon maupun membuka titik-titik untuk melakukan pengisian ulang. Jika opsi pengisian ulang lebih dipromosikan, pengurangan sampah plastik akan jauh lebih bermakna. Beberapa alasan di atas menunjukkan bagaimana greenwashing sering digunakan lebih untuk memperbaiki ‘wajah’ perusahaan, bukan atas dasar semangat peduli lingkungan.

Contoh lain dari kasus greenwashing dilakukan oleh beberapa perusahaan kelapa sawit di Indonesia. Dalam salah satu forum lingkungan internasional, perusahaan sawit ini mengisi diskusi-diskusi dan membawa pesan untuk menjaga kekayaan alam Indonesia serta mengatakan bahwa mereka siap menjadi mitra global menghadapi perubahan iklim. Sungguh ironis. 

Padahal, sektor industri kelapa sawit merupakan penyebab terbesar deforestasi hutan tropis di Indonesia, yang kemudian memiliki dampak berupa semakin buruknya perubahan iklim. Kegiatan ini dapat menjadi salah satu upaya industri kelapa sawit dalam memperbaiki citranya yang sering dicap sebagai perusak lingkungan. Jadi, melalui diskusi ini, dapat terjadi perbaikan citra tanpa perusahaan-perusahaan tersebut perubahan cara kerjanya sedikit pun.

Contoh kasus greenwashing di Indonesia memang cukup banyak dan memberikan dampak buruk terhadap lingkungan. Namun, fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga marak terjadi di negara-negara lain. Secara umum, beberapa negara tersebut juga merasakan dampak negatif greenwashing yang berujung pada kerusakan lingkungan. Bentuk greenwashing di negara-negara lain cukup bervariasi. Salah satu di antaranya sejenis dengan fenomena yang terjadi di Indonesia, yaitu greenwashing yang dilakukan perusahaan penyedia air minum dalam kemasan (AMDK).

Fenomena greenwashing yang dilakukan oleh perusahaan penyedia air minum dalam kemasan (AMDK) sebenarnya sudah umum terjadi di beberapa negara, bahkan di dunia. Sebagai contoh, salah satu perusahaan multinasional yang sangat terkenal di dunia melakukan greenwashing pada produk AMDK mereka. 

Dalam iklan yang tersebar di beberapa negara, di antaranya Singapura dan Amerika Serikat, produk ini mengklaim bahwa botol yang digunakan adalah PlantBottle, yaitu botol plastik yang sebagian terbuat dari tanaman dengan menyertakan simbol recycle. Di dalam iklan tersebut juga tertulis bahwa 30% bahan botol plastik yang digunakan berasal dari tanaman dan botol tersebut 100% dapat didaur ulang. 

Padahal, sebenarnya PlantBottle hanyalah botol plastik PET (polyethylene terephthalate) biasa yang tidak biodegradable (bahan yang dapat hancur atau terurai oleh organisme hidup lainnya dan berasal dari tumbuhan atau hewan) atau compostable (bahan yang dapat disimpan dalam bahan-bahan yang sedang membusuk dan mengurai, dan akhirnya berubah menjadi nutrisi bagi tanaman), baik di darat maupun di laut. 

Meskipun PlantBottle dinilai dapat mengurangi hingga 25% emisi karbon dari proses produksi botol plastik pada umumnya, perlu ditekankan bahwa industri AMDK menyumbang 2,5 juta ton CO2 setiap tahunnya. Bahkan, untuk memproduksi 1 liter AMDK, diperlukan 3 liter air bersih.

Dari berbagai fakta tersebut, tercermin dengan jelas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan multinasional tersebut. Hal ini tentunya kontradiktif dengan klaim ramah lingkungan yang mereka tonjolkan dalam proses penjualan produknya. Selain itu, perusahaan tersebut juga mengklaim bahwa botol-botol yang mereka produksi dapat digunakan kembali sebagai botol baru atau diolah kembali menjadi produk-produk lain. 

Faktanya, hanya 20% dari 34,6 miliar botol minum plastik sekali pakai di Amerika Serikat yang diolah kembali di recycling plant (pabrik daur ulang). Perusahaan tersebut juga tidak mengumpulkan kembali dan mendaur ulang produk tersebut. Pada umumnya, botol tersebut dibuat dari bahan dengan kualitas menengah ke bawah sehingga tidak memenuhi syarat untuk diolah kembali menjadi botol plastik daur ulang.

Contoh lainnya adalah greenwashing yang dilakukan perusahaan fast fashion (industri tekstil yang menghadirkan pakaian siap pakai dengan konsep pergantian mode yang cepat dalam kurun waktu tertentu) multinasional. Salah perusahaan multinasional tersebut sudah memiliki lebih dari 5.000 toko yang tersebar di 34 negara di dunia. 

Pada tahun 2019, perusahaan tersebut mengeluarkan edisi ‘green’ clothing berupa serangkaian produk yang menggunakan bahan katun ‘organik’ dan polyester yang dapat didaur ulang. Dalam promosinya, perusahaan ini menyebutkan produknya sebagai sustainable fashion (mode/busana yang berkelanjutan) yang akan membuat pemakainya terlihat menawan sekaligus merasa telah berkontribusi bagi keberlanjutan lingkungan. Hal ini seakan membius konsumen agar tertarik untuk membeli serangkaian produk yang terkesan ramah lingkungan. 

Dalam penjelasannya, produk tersebut memang terbuat dari 50% bahan yang dapat didaur ulang dalam proses produksinya. Namun, perusahaan tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut tentang proses daur ulang yang mereka lakukan, berapa waktu yang dibutuhkan untuk mendaur ulang bahan produk tersebut, seberapa banyak jejak karbon yang dihasilkan oleh proses produksinya jika dibandingkan dengan produk lainnya, dan perincian lain sehingga mereka dapat menyebut produknya sebagai sustainable fashion.

Faktanya, industri fast fashion umumnya memproduksi sekitar 1 miliar produk setiap tahunnya, beriringan dengan melepas 1,2 miliar ton CO2 ke udara atau setara dengan 5% dari total gas rumah kaca (GRK) global. Lebih lagi, menurut WWF, dibutuhkan 20.000 liter air untuk menghasilkan 1 kg katun yang digunakan sebagai bahan baku utama. 

Hal ini kontradiktif dengan klaim katun sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan material sintetis lainnya. Penggunaan air dalam jumlah besar tersebut pun hanya mampu menghasilkan sepasang kaos dan celana denim.

Perusahaan fast fashion tersebut juga membuka jasa daur ulang produknya yang sudah tidak terpakai oleh konsumennya. Namun, jasa ini secara tersirat juga berujung pada promosi produk. Perusahaan ini akan memberikan kupon diskon £5 setiap satu kantong pakaian lama yang dikumpulkan kembali oleh konsumen. Hal ini seakan mengajak konsumen untuk membeli lebih banyak pakaian dari perusahaan tersebut. Dalam hal ini, konsumen akan berkontribusi lebih jauh dalam kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh proses produksinya.

Pihak regulator memang berperan besar dalam terjadinya greenwashing. Namun, tidak semua negara memiliki regulasi yang mengatur batasan-batasan dalam periklanan hijau dan klaim-klaim ramah lingkungan, terutama di negara-negara berkembang. Beberapa negara yang sudah memiliki regulasi tentang hal ini diantaranya adalah Kanada, Inggris, dan Australia. Pada tahun 2008, Kanada merilis regulasi yang berjudul Environmental Claims: A Guide for Industry and Advertisers untuk mengatur batasan dan realisasi klaim-klaim lingkungan yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan. 

Perusahaan tersebut akan menerima konsekuensi yang jelas jika melanggar peraturan tersebut. Selain itu, di Inggris, Department for Environment, Food and Rural Affairs (DEFRA), yaitu departemen yang mengurus lingkungan, pangan, dan pedesaan, juga merilis regulasi yang sejenis, yang juga diperhitungkan sebagai standar internasional dari klaim lingkungan, yaitu ISO 14021. Meskipun begitu, penerapan ISO 14021 dikembalikan lagi kepada negara masing-masing. Contoh negara lain yang memiliki regulasi khusus terhadap greenwashing adalah Australia. 

Pada tahun 2009, Australian Association of National Advertisers (AANA), yaitu badan nasional yang mengatur periklanan di Australia, merilis Environmental Claims in Advertising & Marketing Code. Regulasi tersebut mengatur secara jelas tentang pembatasan klaim lingkungan. Klaim lingkungan juga harus memiliki prinsip, yaitu sesuai dengan kenyataan dan faktual, relevan dengan produk atau jasa dan dampak lingkungan yang terjadi sebenarnya, serta dapat diverifikasi dan dibuktikan kebenarannya.

Beberapa kasus greenwashing dapat dikatakan wajar terjadi di Indonesia karena belum ada regulasi yang secara jelas mengatur batas-batas klaim lingkungan yang dikeluarkan oleh perusahaan. Oleh sebab itu, beberapa contoh regulasi yang dimiliki oleh beberapa negara di atas dapat menjadi referensi bagi pemerintah Indonesia untuk dapat memperketat regulasi yang ada. Dengan cara itu, kasus kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh greenwashing dapat dicegah.

Dari berbagai contoh di atas, sudah terlihat seberapa buruk dampak negatif dari greenwashing bagi lingkungan. Namun, tentu saja greenwashing itu sendiri tidak akan terjadi jika terdapat keinginan dari sisi masyarakat umum sebagai konsumen untuk menghentikannya. Karena itu, ada beberapa langkah yang perlu kita ambil sebagai konsumen.

Pertama, penting bagi kita untuk lebih selektif dan teliti dalam memilih produk yang akan kita gunakan. Sebaiknya, jangan mudah tertarik dengan istilah dan tampilan produk yang ramah lingkungan. Jika menemukan klaim-klaim seperti di atas, periksalah kembali kebenarannya dari sumber yang terpercaya.

Kedua, penting bagi kita sebagai konsumen untuk mengetahui asal-usul barang yang kita gunakan. Hal-hal yang terjadi di belakang, seperti bagaimana proses produksinya, apa bahan dasar produk, dan metode distribusi yang digunakan penting untuk diketahui. Ikuti pula berita lingkungan untuk dapat mengetahui bagaimana perusahaan tertentu dalam menyikapi masalah lingkungan. Perlu diingat bahwa greenwashing dapat terjadi akibat konsumen yang kurang mengerti atau peduli mengenai masalah lingkungan secara mendalam, sehingga perlu meningkatkan pengetahuan kita agar tidak mudah termakan embel-embel greenwashing.

Ketiga, metode produksi yang tidak ramah lingkungan akan tetap dilakukan selama masih banyak konsumen yang menggunakan barang tersebut. Artinya, konsumen memegang andil dalam mengubah jumlah permintaan suatu barang. Jika konsumen berganti dari produk yang ‘katanya’ hijau ke produk yang benar-benar hijau, perusahaan menjadi lebih terdorong untuk memenuhi kebutuhan pasar berupa produk yang benar-benar ramah lingkungan. Oleh sebab itu, kerusakan lingkungan yang terjadi di belakang kata-kata manis greenwashing dapat dicegah dengan partisipasi konsumen.

Keempat, kita tidak bisa hanya bergantung kepada perusahaan untuk mengubah sikapnya jika kita sendiri masih belum bertindak menyayangi lingkungan. Tendensi kita yang konsumtif juga memberikan dampak kepada lingkungan dan melanggengkan siklus kerusakan yang terjadi. Perbanyak melakukan kegiatan yang melestarikan lingkungan, seperti melakukan 4R (reduce, reuse, recycle, replace) dan membuat sendiri barang yang dapat dibuat di rumah. Hal-hal ini dapat menjadi cara untuk mengurangi kerusakan lingkungan sekaligus menghilangkan ketergantungan kita terhadap perusahaan yang melakukan greenwashing.

Di sisi lain, greenwashing memang merupakan strategi pemasaran dan komunikasi yang valid bagi perusahaan. Perusahaan perlu wajah yang ramah lingkungan, sedangkan, untuk saat ini, sulit membuat suatu produk yang dari hulu hingga hilirnya 100% ramah lingkungan. Sebaiknya, perusahaan meningkatkan upaya untuk meminimalisir kerusakan lingkungan yang dilakukannya. Perusahaan perlu lebih transparan dalam segala proses di belakang layar demi membangun kepercayaan dengan konsumen secara sehat mengenai dampak lingkungan yang terjadi. Jika perusahaan memang sungguh-sungguh dalam melestarikan lingkungan, tentu konsumen tidak akan ragu untuk menggunakan produk perusahaan.


GREENWASHING menjadi isu lingkungan yang selalu hangat. Ketika dunia bergiat mencegah kerusakan alam, greenwashing atau pencucian hijau menjadi celah berkelit dari usaha-usaha mitigasi krisis iklim. Para ahli menilai greenwashing lebih berbahaya karena perusakan lingkungan terbungkus label-label perlindungan alam.

Bagi Indonesia, greenwashing agak jarang diperbincangkan. Barangkali karena perusakan lingkungan secara terbuka, memakai regulasi atau secara ilegal, terlihat nyata di depan mata. Maka perusakan lingkungan berkedok perlindungan tersuruk menjadi isu yang tak mengemuka.

Seperti di Jambi. Mighty Earth, sebuah LSM, meneliti dugaan greenwashing ketika Michelin, merek dan pabrik ban terkemuka dari Prancis, mendapatkan obligasi (pinjaman) berkelanjutan dari Tropical Landscapes Finance Facility pada 2018. Dana tersebut dipakai untuk membangun perkebunan karet.

Mighty Earth menduga perkebunan karet tersebut mengubah hutan alam. Tentu saja ini deforestasi. Maka menyebut obligasi sebagai pembiayaan hijau menjadi tidak pas. Apalagi jika penanaman karet itu disebut reforestasi. Sebab deforestasi mengacu pada perubahan hutan yang berakibat pada pelepasan emisi karbon menjadi gas rumah kaca penyebab krisis iklim. Kita tahu, serapan karbon perkebunan monokultur selalu lebih rendah dibanding hutan alam.

Temuan Mighty Earth itu rupanya, tak hanya deforestasi, di konsesi itu juga ada konflik dengan masyarakat lokal. Prinsip keberlanjutan selalu bertumpu pada tiga kaki: sosial, ekonomi, dan lingkungan. Jika pengelolaan hutan hanya menghasilkan ekonomi tapi operasinya berkonflik dengan masyarakat lokal dan masyarakat adat, klaim keberlanjutan menjadi gugur. Apalagi jika menyebabkan deforestasi.

Hasil penelusuran itu kami sajikan di edisi pekan ini. Liputan ini bekerja sama dengan Voxeurop yang didukung Global Initiative dan Environment Reporting Collective. Selamat membaca.


Referensi

  • Aggarwal, P. and Kadyan, A., 2011. Greenwashing: The Darker Side Of CSR. Indian Journal of Applied Research, 4(3), pp.61-66.
  • Lanthorn, K., 2013. It’s all About the Green: the Economically Driven Greenwashing Practices of Coca-Cola. Augsburg Honors Review, [online] 6(Article 13), pp.33-47. Tersedia di: [Diakses 22 Mei 2020].
  • Sasetyaningtyas, D., 2019. Greenwash: Botol Minum dari 100% Daur Ulang Plastik. [daring] Sustaination. Tersedia di: [Diakses 24 Mei 2020].
  • Vives, A., 2019. Needed: A systematic effort to monitor and report greenwashing related to the SDGs. [daring] GreenBiz. Tersedia di:
  • Vogt, H., 2020. Fashion Companies Use Greenwashing To Lie To Consumers. [daring] The Daily Orange. Tersedia di: [Diakses 24 Mei 2020].
  • World Wildlife Fund. 2020. Cotton. [daring] Tersedia di: [Diakses 24 Mei 2020].
  • Whiting, T., 2019. ‘Sustainable Style’: The Truth Behind The Marketing Of H&M’s Conscious Collection. [daring] Medium. Tersedia di: [Diakses 24 Mei 2020].

Tidak ada komentar

Posting Komentar

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)