NEGERI TANPA JEMPOL



    Di sebuah negeri yang megah dan tampak makmur dari luar, hiduplah orang-orang yang selalu sibuk. Sibuk bukan karena pekerjaan yang penting, tapi sibuk memamerkan kehidupan mereka sendiri. 


    Rumah tinggi, mobil mewah, pakaian bermerk. Mereka bicara seolah berdiri di atas panggung, tapi tak pernah benar-benar mendengar. Apalagi peduli.

    Mereka menyebut negeri itu Negeri Tanpa Jempol—bukan karena mereka tak punya jempol di tangan, tapi karena mereka tak pernah memberi jempol pada orang lain. Tidak untuk mendukung, tidak untuk menyemangati, apalagi untuk sekadar menyapa.

    Di negeri itu, hidup seorang gadis bernama Anthea. Ia berbeda. Ia suka menyapa tetangga, bertanya kabar tukang roti, dan tersenyum pada siapa pun yang lewat. Suatu hari, Anthea merasa ingin membuat perubahan. Ia mengirim undangan:


    “Sabtu sore, aku mengadakan pertemuan kecil di taman kota. Kita ngobrol,         main musik, berbagi cerita. Ajak siapa saja. Aku tunggu, ya!”

Ia mengirim pesan itu ke semua orang yang dikenalnya. Tapi hari Sabtu tiba… dan taman itu kosong. Tak satu pun yang datang.

Anthea duduk di bangku taman sendirian. Wajahnya mulai memerah, bukan karena malu, tapi karena marah.

    “Sudah cukup,” gumamnya sambil berdiri dan menepuk-nepuk roknya.

 “Untuk apa tinggal di negeri yang bahkan tak bisa bilang ‘ya’ atau ‘tidak’? Negeri yang bahkan tak bisa memberi jempol—tanda paling sederhana bahwa kau peduli.”

    Keesokan harinya, Anthea berkemas dan meninggalkan Negeri Tanpa Jempol. Ia berjalan melewati hutan, menyeberangi sungai, hingga akhirnya tiba di sebuah negeri asing. Negeri itu tampak biasa, tidak semegah tempat asalnya. Tapi ada sesuatu yang berbeda.

    Di sana, setiap orang yang lewat tersenyum. Ada yang melambai, ada yang memanggil, “Selamat pagi, orang baru!” Ada yang menawarkan makanan, dan anak-anak menari di alun-alun sambil menyanyi.

    Anthea merasa seperti tersengat kehangatan. Ia belum sempat mengenalkan diri, tapi mereka sudah menerimanya.

    Hari-hari berikutnya, Anthea mulai ikut berkegiatan. Ia membantu di dapur umum, mengajar anak-anak menggambar, dan terkadang hanya duduk bersama orang-orang tua sambil mendengarkan cerita lama. Di negeri itu, setiap ucapan mendapat respons. Setiap usaha mendapat dukungan. Dan setiap tangan—selalu ada jempol yang diangkat tinggi-tinggi sebagai tanda semangat.

    Anthea pun hidup bahagia di negeri itu. Negeri yang mungkin tak sekaya negeri sebelumnya, tapi penuh dengan sesuatu yang jauh lebih mahal: kepedulian.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)