Rahasia Harga Diri Yang Tak Pernah Tua


Konon, the golden age a.k.a usia 50 tahun ke atas itu seperti kebun teh di puncak gunung: semakin tua, semakin kuat akarnya, semakin harum aromanya. 

Tapi, sahabat, tahukah? 

    Banyak yang bilang, “Neng, di usia segini, mending diam saja. Jangan banyak omong, nanti dikira cari perhatian!” 

Haha, dulu aku juga pernah mendengar kalimat seperti itu. Tapi justru di sinilah aku belajar: berdiri teguh pada prinsip justru menguatkan harga diri, bahkan saat kita sendirian.


    Masih ingat deh, 13 tahun lalu, saat pertama kali memutuskan ngeblog, masih ga punya apa-apa. Boro-boro laptop or komputer (jangan tanya "dulu" sebelum nikah yaaa.. sungguh beda jauh mas bro en sist :))) 

    Senyum sinis karena "dih pegang hape mulu" di mana-mana karena tahun itu kan pegang hape = main game! Apalagi perempuan! Apalagi guweeee emak-emak mahmud yang anaknya masih kicik-kicik! 

    Semua berubah ketika negara api memutuskan kibar bendera putih!

Wkwkkk ...  yeesss ketika aku mulai bisa menghasilkan. Hasilnya gak kicik, tapi mayaaaan... bisa kasih anak-anak kicik minum susu dan pake pospak GRATIS selama bertahun-tahun, bisa ajak keluarga jalan-jalan gratis dengan five stars services. Bisa berangkat ke negeri jiran bolak-balik for free jugaaa.... Uh, happy!

Ssst.. itu bukan sombon' yaa, plisss .. itu cuman self appreciation and justified.
Aku appreciate diri sendiri, bukan karena butuh "diakui" tapi lebih karena aku merasa diriku berarti.

And now?

Ketika ada yang bisik-bisik, “Waduh, Neng Tanti kayak anak muda saja. Masih mau jadi influencer?” 

Dalam hati, saya tersenyum. Bukan karena marah, tapi karena sadar: mereka bicara dari ketakutan mereka sendiri, bukan dari kebenaran yang  kuyakini.

Sahabat, kuncinya bukanlah menutup telinga dari kritik, tapi memilah mana suara yang membangun dan mana yang hanya angin lalu. 

Aku yakin, berbagi pengalaman hidup—tentang yoga untuk nyeri pinggang, resep jamu turun-temurun, atau cara menghadapi perubahan emosi di usia 50+—adalah hal yang benar. 

Mengapa? 
Karena setiap hari, ada saja pesan dari pembaca yang bilang, “Ibu Tanti, tulisan Ibu menyelamatkan hari saya.” Itulah yang membuat neng Tanti tak goyah, meski awalnya hanya bermodalkan doa dan secangkir kopi pagi.


Bagaimana sih, mempertahankan keyakinan itu? Begini:

1. Bicara pada cermin. 
Setiap pagi, kuucapkan, “Tanti, kamu nggak perlu disukai semua orang. Cukup lakukan yang hatimu tahu benar.”

2. Cari sahabat sejati dalam diam. Saat komentar negatif datang, tidak  usah membalas. Tapi daku baca ulang pesan-pesan dari Ibu Siti di Bandung yang bilang, “Saya jadi semangat olahraga berkat tulisan Neng Tanti.”

atau pesan dari mbak Miriam, "Ibu, saya suka loh tulisan ibu jelas banget tentang IF, gak men-judge siapa-siapa,"

3. Ingatkan diri: hidup ini bukan panggung untuk disetujui orang, tapi ruang untuk berbagi berkah.


Ada kalanya, rasa ragu menyelinap. Suatu malam, setelah tulisan saya tentang “Memaafkan Diri Sendiri” dikomentari kasar, saya hampir menutup blog ini selamanya. 

Tapi esok paginya, saya jalan ke pasar, beli pisang goreng kesukaan, lalu duduk di bangku taman. Sambil menikmati hangatnya gorengan, saya bertanya pada diri sendiri: “Apa yang kuinginkan? Diterima semua orang, atau membantu satu saja yang tersesat?” Jawabannya jelas. Saya kembali ngeblog, dengan semangat yang lebih tenang.

Kini, blog ini sudah punya ribuan sahabat dari Sabang sampai Merauke.
Yang bikin terharu, bukan cuma angkanya—tapi rasa. Rasa bahwa aku nggak sendiri lagi.

Tapi yang paling berharga? Saya tak lagi takut pada kritik. Mengapa? Karena saya tahu: kebenaran tak pernah sepi, meski awalnya hanya dipegang seorang. Seperti biji padi yang ditanam sendirian, lama-lama jadi sawah yang menguning.

Sahabat Neng ye te ce, 

mungkin kamu juga lagi ada di fase itu. Lagi diragukan, dijatuhin, dikatain aneh karena usaha kecilmu belum balik modal. Atau malah ditertawakan karena baru belajar nulis di usia 60. Ada yang nyeletuk, “Udah tua, ngapain sih masih ikut kelas online?”

Hadeuh... mereka nggak tahu.

 Kita ini bukan lilin yang perlu nyala buat disukai matahari. Kita ini mataharinya. Terang sendiri. Nggak butuh izin siapa-siapa buat bersinar.

Percaya ya, meski langkahmu kecil dan kamu ngerasa sendirian… asal kamu berpijak di kebenaran, kamu tetap kuat. Bukan kuat karena disorot. Tapi karena hatimu punya arah. Jiwa yang tahu pulang.

Jadi, teruslah nulis. Teruslah masak. Teruslah jualan. Teruslah kirim CV. Teruslah belajar, posting, dan bermimpi. Dunia boleh nyinyir, tapi kamu yang tahu jalanmu.

Karena selama hati kita jujur dan tulus, semesta pasti buka jalan. Satu per satu.
Sampai jumpa di tulisan Neng selanjutnya, ya?

Komentar

Postingan Populer