KETUPAT DUSUN UMBUL PENGGING



Nyai Woro mengangkat tutup kukusan bambu. Hmm..bau ketupat matang menyergap. Ketupat-ketupat itu pelahan diangkat dan disusun diatas tampah, sejenis tatakan terbuat dari anyaman belahan batang pohon bambu berbentuk bundar.

“Wangi sekali,” pikirnya. Aroma daun kelapa, santan dan beras yang sudah matang dan diberi seiris daun pandan, menguar dan memenuhi bilik dapur kecilnya. Ia berjongkok, mematikan tungku dengan menyebul melalui sepotong bambu panjang.

Nyai Woro sangat pintar membuat ketupat. Keahliannya terdengar hingga ke pelosok dusun Umbul Pengging, sebuah desa kecil di kaki Gunung Kidul. Entah mengapa, ketupat bikinannya sangat pulen dan tak mudah basi. Saking penasarannya, beberapa orang pernah sengaja menaruh ketupat itu di meja selama seminggu, dan saat dimakan benar-benar masih enak! Oh, ya. Ketupat Nyai Woro juga hanya dijual pada hari pasar dalam sepekan sekali.

Terdengar derap langkah beberapa kaki kecil mendekati dapur nyai Woro.

“Kulonuwuuun…” nyaring suara seorang anak lelaki. Karena tak mendengar, nyai Woro diam saja, sibuk mencuci perabotannya. Anak-anak itu memasuki dapur, mengira tuan rumah membolehkan mereka untuk masuk.

“Ha! Adinda Panji, dan kau adinda Ni Ajeng Gembili. Ini lho, yang dinamakan ketupat”.

Sok tahu, Jojo Martijo yang bertindak sebagai pemimpin barisan, masuk ke dalam dapur beralas tanah padat itu. Ia menunjuk ketupat-ketupat yang berjejer. Berwarna kuning keemasan, padat dan berbau wangi daun kelapa. Air liur mereka terbit saat melihatnya.

Panji Jiwo, adik lelaki Jojo menggeleng. “Mm..mm.. wangi ya, kakanda Jojo. Itukah namanya ketupat?” Hidungnya mengendus-endus semerbak aroma yang keluar dari atas tampah. 

Ni Ajeng Gembili, adik perempuan bungsunya yang masih mengisap jempol, mendekatkan hidung bulatnya pada tampah. Tiba-tiba… Blaak! Nyai Woro menutup tampah dengan tutup kukusan. Matanya mendelik. Marah.

Hup! Ni Ajeng Gembili, yang hidungnya paling dekat tampah, menciut. Pucat.

Anak-anak itu undur selangkah. Jojo Martijo sang pemimpin pasukan, buru-buru tersenyum. Ia menangkupkan kedua tangannya di dada. Tanda salam kompak.. eh.. salam perkenalan.

“Err.. nyai kah yang memasak hidangan ketupat ini? Perkenalkan, nyai. Namaku Jojo Martijo. Dan ini kedua adikku, Ni Ajeng Gembili dan Panji Jiwo. Kami datang karena mendengar dari Eyang, nyai sangat ahli memasak ketupat.”

“Grrh.. aku tak suka makananku diendus-endus seperti itu. “ Nyai Woro menggeram tak suka. Aiih.. bunyinya seperti dengkur kucing Ni Ajeng Gembili! “Saru! Nanti tak sedap lagi jika dihidangkan. Sudah. Pergi sana!”

Dikibas-kibaskannya tangannya mengusir anak-anak seperti mengusir burung.

“Aah.. baiklah, nyai. Maafkan kami, ya. Pareng..” Jojo Martijo dan kedua adiknya tergesa melangkah mundur ke arah pintu. Mata nyai Woro mengawasi.

Sampai di pintu luar, serentak mereka bertiga lari secepat-cepatnya ke arah rumah Eyang Suri, nenek mereka. Jojo Martijo dan kedua adiknya memang tak tinggal di Dusun Umbul Pengging, namun di kota Yogyakarta. 

Eyang Suri mengundang mereka karena akan ada Padusan Cilik di Dusun Umbul Pengging. Ritual menjelang bulan suci Ramadhan ini meriah, karena semua warga akan kirab atau jalan beriringan untuk mandi kungkum di sungai.. 

Tentu saja ini menarik buat Jojo dan kedua adiknya.

Setiba di pelataran pendopo Eyang, mereka bertiga terduduk lemas. “Kakang sih.. menyuruh kita masuk. Hii..nyai Woro itu galak ya, matanya merah, rambutnya putih semua.. kayak tukang sihir! Aku takut kalau ketemu malam-malam.” Ni Ajeng Gembili bergidik ketakutan.

“Lah, kita kan ingin berkenalan dan melihat pembuatan ketupat terkenal nyai Woro. Kata Eyang kita boleh kok, dolan ke rumahnya.” Jojo Martijo membela diri. Sambil menerawang melihat bubungan atap, Panji Jiwo menyahut,

“Aku kok jadi ingin lihat nyai Woro masak lagi,ya. Jangan-jangan, ketupatnya itu ...”

“Huss! “. Ni Ajeng Gembili menyergah, “Kok menuduh tho, kang! Mboten pareng,ah.”

“Ya sudah, biar ndak penasaran, besok kita kesana lagi, tapi pake siasat, ya! Begini..” Jojo Martijo membeberkan rencananya. Usai bercerita, mata ketiga anak-anak itu berbinar-binar. Mau tahu rencananya? Hmm, kasih tahu nggak yaa..

***
Keesokan paginya.
“Kulonuwun, nyai Woro.” Jojo, sang juru bicara menyapa. Kedua adiknya takut-takut mengintip di belakang bahunya. 

“Heh?” Nyai Woro terkesiap kaget. Ni Ajeng Gembili memberanikan diri maju, membawa sepiring sego lombok. 

“Ini, nyai. Ada titipan sego lombok dari Eyang.” Ditaruhnya di meja. “Kami minta maaf, ya, nyai. Kemarin lancang masuk ke dapur.”

Tanpa diduga, mata nyai Woro berkaca-kaca. “Maafkan aku juga, cu. Sudah lama sekali tidak ada yang mengunjungiku.” Nyai Woro tersenyum. “Hayoo, masuk, le, nduk. Silakan, silakan.”

Merekapun bercengkrama, seolah kehadiran mereka telah lama dinantikan oleh nyai Woro. Ternyata, siasat Jojo Martijo bertandang ke kediaman Nyai Woro dengan membawa masakan kesukaannya disambut baik. Tentu saja ia bertanya dahulu kepada eyang Suri.

“Begini nyai, maksud kedatangan kami adalah untuk melihat cara pembuatan ketupat nyai yang terkenal itu. Boleh kan?”

“Oh boleh, kebetulan aku sedang akan mengangkat ketupat dari kukusan. Semalam suntuk ketupatku dikukus, jadi sekarang saatnya diangin-anginkan. Hayo, bantu aku,”

Maka ketiga anak itupun membantu nyai Woro sambil bertanya-tanya asal-usul ‘ketupat ajaib’nya. Ternyata rahasia ketupat enak itu adalah karena nyai Woro selalu mengukus dengan api kecil semalaman, sehingga benar-benar matang. 

Proses selanjutnya yang tak kalah penting adalah mengangin-anginkan di atas tampah hingga benar-benar kering, sehingga tak mudah basi. Sedangkan bau wangi didapat dengan menambahkan seiris daun pandan.

Tak terasa, matahari sudah sepenggalah. Anak-anakpun berpamitan pulang. Nyai Woro juga merasa kesepiannya sudah terobati dengan ketiga anak yang ramah dan penuh sopan santun itu.

Saat pamit, nyai Woro meraih tangan Jojo, memberikan segenggam bungkusan berlapis kain batik. “Ini, le.. kalian kemarin ingin tahu ketupatku, kan? Nah, aku bawakan beberapa buah untuk kalian cicipi, ya..”

Terharu, Ni Ajeng Gembili mencium tangan nyai Woro. “Terimakasih, nyai. Besok kami boleh main lagi kan? Tiap hari dibawain ketupat ya.”

“Husy..!” Berderai tawa mereka. Ah.. indahnya persahabatan.. dan ketupat nyai Woro!

***

Keterangan :

1. Kukusan, Tempat untuk Menanak Nasi dan membuat tiwul atau tumpeng. Kebiasaan untuk membuat tiwul dengan menggunakan kukusan bisa dijumpai di daerah Gunung Kidul.

2. Ketupat atau kupat adalah hidangan khas Asia Tenggara maritim berbahan dasar beras yang dibungkus dengan pembungkus terbuat dari anyaman daun kelapa (janur) yang masih muda. Ketupat ditemui pada saat perayaan Lebaran, ketika umat Islam merayakan berakhirnya bulan puasa.

3. Menyebul yaitu mematikan kompor dengan cara ditiup kuat-kuat. Masih digunakan di beberapa daerah di Indonesia.

4. Saru atau pamali adalah kepercayaan di daerah untuk menyatakan tidak suka atau tidak boleh dengan halus.

5. Gedek adalah anyaman bambu yang digunakan sebagai dinding pada jaman dahulu.

6. Padusan berasal dari kata dasar adus artinya mandi besar yang dilakukan satu hari menjelang bulan suci untuk menghilangkan hadast besar dan kecil agar suci lahir dan batin.. Ritual Padusan merupakan peninggalan Wali Songo yang memadukan budaya Jawa untuk mensyiarkan agama Islam di pulau Jawa. Salah satu ritual Padusan yang masih dilakukan adalah di Umbul Pengging dan sekitarnya.

7. Pareng, salam yang diberikan saat hendak berpisah. Biasanya akan disahut : Monggo yang berarti mari

8. Sego Lombok : sayur terbuat dari irisan cabai hijau yang ditumis, khas Gunung Kidul

9. Pendapa (atau dibaca pendopo dalam bahasa Jawa), pengejaan Jawa: pendåpå, berasal dari kata mandapa dari bahasa Sanskerta yang artinya bangunan tambahan) adalah bagian bangunan yang terletak di muka bangunan utama. (Wikipedia)

10. Mboten pareng : tidak boleh

11. Hari pasar Jawa : suku Jawa mengenal yang disebut hari pasar yaitu legi, pahing, pon, wage, kliwon.

3 komentar

  1. suka baca cerita daerah apalagi yang diselipin bahasa daerah, bisa nambah kosa kata

    BalasHapus
  2. terimakasih mb Lisa Tjut Ali, mau doong kritiknya :)

    btw blognya apa nih, maklum saya pelupa berat

    BalasHapus
  3. jadi inget jaman dulu, sebelum kenal ricecooker, aku diajarin masak nasi pake kukusan, perlu tekhnik jitu buat numblekin nasi ke baskom pas diangkat supaya bentuk kerucutnya tetep kece

    BalasHapus

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)