Yang Tak Terganti oleh Materi
![]() |
Suara denting sendok beradu dengan cangkir di kafe hotel, mengisi jeda di antara tumpukan brosur dan formulir keanggotaan. Oryza menyeruput es kopinya, menatap Ibu Puspa Pesona yang baru saja menutup map presentasi dengan senyum puas. Sudah lama sekali rasanya mereka tidak bertemu akrab seperti ini, di luar riuhnya acara perkumpulan MLM herbal yang mereka promosikan.
"Gimana, Oryza? Presentasinya tadi lancar, kan?" Ibu Puspa memulai, suaranya renyah seperti keripik bawang. "Klien baru tadi langsung tertarik kayaknya."
Oryza mengangguk, "Lancar jaya, Bu Puspa. Ibu memang top deh kalau soal presentasi. Oh ya, ngomong-ngomong, tadi pas daftar ulang keanggotaan, kok saya lihat domisili Ibu Anyelir masih belum jelas ya? Saya kira beliau sudah punya rumah sendiri sekarang."
Ibu Puspa menghela napas perlahan, senyumnya sedikit memudar. Ia menatap ke luar jendela kafe yang menampilkan hiruk pikuk jalanan Jakarta. "Itu dia, Za. Panjang ceritanya."
"Panjang gimana, Bu Puspa?" tanya Oryza, rasa penasarannya mulai menguar. "Maksud saya, kan Mas Daun sama Mbak Putik sudah mapan semua. Harusnya Ibu Anyelir bisa hidup enak, dong." Mas Daun dan Mbak Putik adalah anak-anak bu Anyelir.
Ibu Puspa menyesap teh hijaunya perlahan, tatapannya menerawang jauh, seolah kembali ke masa lalu. "Kakakku Anyelir itu kan kakak kelasmu juga, Oryza. Kamu tahu sendiri bagaimana dulu dia. Cantik, pintar, tapi kadang keras kepala. Terutama soal anak-anak."
Ia berhenti sejenak, menghela napas lagi. "Dulu, waktu anak-anak masih kecil, Anyelir itu... terlalu memanjakan, mungkin itu kata yang tepat. Apapun keinginan Daun dan Putik, selalu dituruti. Jarang sekali ada kata 'tidak'."
Ibu Puspa menghela napas panjang, seolah beban masa lalu ikut terangkat bersamanya.
"Dia bilang, dia mau anak-anaknya bahagia, nggak seperti dia yang dulu serba terbatas. Tapi dia lupa, kadang 'tidak' itu justru bentuk cinta."
Oryza mendengarkan dengan saksama, mulai memahami ke mana arah pembicaraan Ibu Puspa. "Jadi, itu ada hubungannya sama kenapa Ibu Anyelir sekarang sendirian, Bu?"
"Tentu saja ada, Za," jawab Ibu Puspa, suaranya kini terdengar lebih pelan.
"Anyelir selalu memprioritaskan anak-anaknya di atas segalanya, bahkan di atas dirinya sendiri dan pernikahannya. Itu yang bikin semuanya jadi runyam."
Ia terdiam sejenak, tatapannya menyusuri keramaian kafe. "Dulu, waktu Anyelir masih punya banyak uang dari suami pertamanya, ingat kan, Om Bram yang pengusaha itu? Dia berubah drastis."
Oryza mengangguk, mengingat-ingat masa itu. Anyelir memang pernah berada di puncak kejayaan, sering pamer tas branded atau liburan ke luar negeri.
"Dia jadi sangat sibuk dengan dunianya sendiri, Oryza. Sibuk belanja, sibuk perawatan, sibuk kumpul-kumpul sama teman-teman barunya yang sesama 'sosialita'. Kalau ada arisan atau kumpul keluarga, dia sering menghilang. Alasannya, 'sibuk banget'. Padahal, ya... sibuk menikmati uangnya."
Ibu Puspa tersenyum getir. "Dia jadi jarang sekali ada waktu untuk kami, saudara-saudaranya. Bahkan untukmu, sahabatnya, kan?"
Oryza mengangguk, kenangan lama berkelebat di benaknya. Dulu, Anyelir memang pernah berubah. Telepon atau pesan singkatnya sering tidak dibalas, janji-janji bertemu sering dibatalkan. Seolah ada dinding tak terlihat yang memisahkannya dari dunia nyata.
"Dia selalu update status, pamer ini itu di media sosial. Seolah kehidupannya hanya ada di sana," lanjut Ibu Puspa, suaranya kini lebih pelan, sarat akan kesedihan. "Semakin banyak 'like' yang dia dapat, semakin dia merasa benar. Dia lupa, 'like' itu cuma angka. Bukan pelukan hangat dari keluarga, bukan tawa renyah bareng sahabat. Rasanya, dunia maya itu seperti menyedotnya pelan-pelan, Oryza. Merenggut dia dari kami."
Oryza mengernyit, membayangkan betapa kesepiannya Ibu Anyelir di tengah keramaian virtualnya. "Lalu bagaimana dengan Daun dan Putik, Bu? Mereka kan masih kecil waktu itu."
Ibu Puspa menghela napas. "Itu dia. Anyelir memang memanjakan mereka habis-habisan. Kalau Daun atau Putik mulai rewel minta perhatian, Anyelir akan langsung meluncurkan 'amunisi'. Oleh-oleh mahal, mainan terbaru, gadget paling canggih. Seolah, segala kebutuhan emosional anak-anaknya bisa diganti dengan barang dan uang."
"Mereka jadi tumbuh dengan pemikiran, 'kalau butuh Ibu, ya tinggal minta apa saja, nanti dikasih'. Kasih sayang jadi terukur dari seberapa banyak yang bisa dia berikan secara materi."
Oryza terdiam, membayangkan skenario terburuk dari pola asuh semacam itu. "Jadi, wajar kalau sekarang..."
"Makanya sekarang anak-anak menganggap ibunya ya enggak penting juga, Za," potong Ibu Puspa, ada nada pahit dalam suaranya. "Kalau Anyelir telepon, dikira pasti butuhnya uang. Mereka sudah antipati duluan. Padahal dulu, Anyelir itu rela melakukan apa saja demi mereka. Sampai lupa diri, lupa suami, lupa saudara, lupa sahabat."
Ibu Puspa menggelengkan kepala, prihatin. "Saat suami pertamanya selingkuh dan akhirnya cerai, Anyelir memang dapat bagian harta gono-gini, rumah dan mobil. Tapi itu pun tidak bertahan lama. Suami keduanya... ah, itu cerita lain lagi."
"Ya begitulah," Ibu Puspa mencondongkan tubuhnya, suaranya melirih seolah tak ingin ada yang mendengar. "Setelah semua kejadian itu, Anyelir jadi suka sekali makan. Mungkin pelarian, ya. Badannya gembrot sekali sekarang, usianya 61 tahun, dan jalannya juga susah." Ia menggelengkan kepala pelan.
Oryza merasakan perih di hatinya. Betapa mirisnya nasib Ibu Anyelir, yang dulu begitu berlimpah, kini terdampar dalam kesendirian dan keterbatasan.
"Mungkin ini yang dinamakan 'apa yang kau tanam, itu yang kau tuai', Oryza," ucap Ibu Puspa, suaranya kini kembali tegas, penuh makna.
"Anyelir dulu menanam kemudahan materi, mengganti kehadiran dan perhatian dengan uang. Dia pikir itu cukup. Dia pikir anak-anaknya akan selalu ada untuknya, karena dia sudah memberikan segalanya dalam bentuk materi." Ibu Puspa menghela napas, menatap jauh ke depan.
"Padahal, kasih sayang sesungguhnya itu tidak bisa digantikan oleh tumpukan harta, Oryza. Tidak bisa dibeli dengan gadget tercanggih atau liburan termewah."
Ia berhenti sejenak, tatapannya kini beralih ke Oryza, penuh penekanan.
"Yang dibutuhkan anak-anak itu, dari dulu sampai nanti mereka dewasa, adalah pelukan hangat yang tulus dari seorang ibu. Waktu yang berkualitas. Kehadiran saat mereka senang, apalagi saat susah. Perhatian yang tidak terbagi dengan kesibukan dunia maya atau obsesi materi. Karena, kelak di kemudian hari, orang tua akan merasakan persis apa yang dia pernah 'tanamkan' ke anak-anak mereka. Jika dulu yang ditanam hanya materi, jangan heran jika nanti yang kembali hanya hitungan materi."
Keduanya membisu.
Oryza menghela napas, matanya menerawang jauh, bukan lagi ke arah Ibu Puspa, melainkan ke cakrawala di luar jendela kafe. Langit mulai merona jingga, semburat senja menyelimuti gedung-gedung tinggi Jakarta.
Di tengah keramaian sore itu, sebuah keheningan yang syahdu melingkupi mereka berdua. Mereka tak lagi berbicara, hanya sibuk membayangkan kehidupan mereka sendiri, bayangan masa lalu dan kemungkinan masa depan, sambil perlahan menyeruput cangkir kopi masing-masing yang isinya sudah tinggal separuh.
Aroma es kopi susu dan teh hijau bercampur dengan wangi senja yang baru saja tiba, meninggalkan jejak melankolis di udara.
---- 000 ----
All pictures generate by AI
Komentar
Posting Komentar
TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)