![]() |
Di kampung Kembang Seruni, hidup seorang ibu warung bernama Bu Raras. Orangnya ceplas-ceplos, jujur, dan seringkali terlalu jujur.
Suatu siang, saat matahari tinggi dan warungnya sepi, datanglah Bu Mira, tetangga sebelah. Mereka ngobrol seperti biasa, saling bertukar kabar sambil menyesap es teh.
“Neng Ayu sekarang makin sering pulang malam, loh.. ” gumam Bu Raras pelan, sambil mengiris cabe.
Bu Mira menoleh cepat. “Oh, yang anaknya Bu Nur itu?”
“Eh iya, katanya sih kerja lembur… tapi ya siapa tahu ya…” Nada bicara Bu Raras tidak tuduh, tapi cukup menggantung.
Tiga hari kemudian, Bu Nur mendengar versi yang berbeda.
“Bu Raras bilang anak Ibu suka pulang malam karena main laki,” kata seseorang sambil menunduk.
Bu Nur pun naik darah. Ia marah, bukan karena yakin kabar itu benar, tapi karena malu. Ia datangi warung Bu Raras sore itu. Tanpa salam. Tanpa senyum.
“Kau fitnah anakku, ya?” teriaknya.
Bu Nur pun naik darah. Ia marah, bukan karena yakin kabar itu benar, tapi karena malu. Ia datangi warung Bu Raras sore itu. Tanpa salam. Tanpa senyum.
“Kau fitnah anakku, ya?” teriaknya.
Bu Raras terpaku. “Astaghfirullah, saya cuma bilang lembur, Bu. Saya nggak pernah bilang macam-macam.”
Tapi omongan sudah menjalar. Seperti api menyambar kain kering, atau seperti cacing kecil yang berubah jadi naga yang mengamuk.
Grup pengajian heboh. Grup PKK mulai bisik-bisik. Beberapa pelanggan setia warung Bu Raras pelan-pelan tak datang lagi. Padahal semua bermula dari satu kalimat menggantung, yang entah bagaimana dibelokkan, digoreng, disebar, dan dipelintir.
Di malam yang sepi, Bu Raras duduk sendiri. Ia menyesal. Bukan karena ia merasa bersalah penuh, tapi karena tahu: kata-kata, sekali meluncur, tidak bisa ditarik kembali.
Dan di kampung kecil seperti Kembang Seruni, kadang lebih baik diam daripada satu kalimat berubah jadi naga dan membakar segalanya.
Tapi omongan sudah menjalar. Seperti api menyambar kain kering, atau seperti cacing kecil yang berubah jadi naga yang mengamuk.
Grup pengajian heboh. Grup PKK mulai bisik-bisik. Beberapa pelanggan setia warung Bu Raras pelan-pelan tak datang lagi. Padahal semua bermula dari satu kalimat menggantung, yang entah bagaimana dibelokkan, digoreng, disebar, dan dipelintir.
Di malam yang sepi, Bu Raras duduk sendiri. Ia menyesal. Bukan karena ia merasa bersalah penuh, tapi karena tahu: kata-kata, sekali meluncur, tidak bisa ditarik kembali.
Dan di kampung kecil seperti Kembang Seruni, kadang lebih baik diam daripada satu kalimat berubah jadi naga dan membakar segalanya.
Tidak ada komentar
Posting Komentar
TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)