Retakan di Tengah Lingkaran



Awalnya mereka hanya empat: Rani, Elok, Vira, dan Mita. Saling mengenal dari komunitas menulis, lalu membentuk grup kecil di WhatsApp. Obrolan dimulai dari puisi dan cerita pendek, lalu melebar ke curhat rumah tangga, luka lama, impian yang nyaris padam.

Lalu datanglah Lala, Kinan, Sita, dan Diah. Tambahan teman dari lingkaran yang lebih luas. Grup itu berkembang menjadi delapan perempuan, delapan cerita hidup, delapan luka yang tak semua sempat sembuh. Tapi mereka saling menguatkan, tertawa bersama, berbagi rahasia—begitu katanya.

Tapi rahasia, seperti air di celah batu, selalu menemukan jalan untuk mengalir keluar.

Semua mulai berubah saat Lala keceplosan soal suami Kinan yang pernah DM dirinya dengan emoji hati. Saat itu juga, suasana grup yang biasanya riuh jadi senyap seperti ladang mati. Kinan tidak merespons. Tapi seminggu kemudian, Diah keluar diam-diam. Disusul Mita.

Rani mencoba memperbaiki. Ia buat panggilan Zoom khusus, berharap bisa membicarakan segalanya. Tapi hanya Elok dan Vira yang hadir. Sisanya ‘read’, tak hadir, tak pamit.

Baru kemudian semuanya terbuka, bukan di grup itu, tapi di status-status media sosial.

Sita merasa dibohongi karena katanya grup ini "safe space", tapi ternyata screenshot obrolannya beredar ke luar. Elok merasa diserang karena masa lalunya yang pernah dibicarakan dengan percaya. Vira yang dulu pernah curhat soal utangnya, kini jadi bahan candaan terselubung.

Ternyata masing-masing membawa luka sendiri. Aib sendiri. Ketakutan sendiri. Dan mereka saling menghindar daripada saling jujur. Grup itu tak bubar secara resmi. Tapi sepi. Sepi seperti kota yang ditinggalkan penghuninya.

Beberapa dari mereka kini masih saling sapa, sekadarnya. Beberapa memilih memblokir. Beberapa masih menunggu, barangkali ada yang ingin kembali dan berkata, "Maaf, aku juga salah."

Tapi kadang, sebuah lingkaran memang hanya ditakdirkan untuk retak. Bukan untuk utuh selamanya.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)