SUKA DUKA MENGAJAR DI PEDALAMAN


Awalnya sederhana. 

waktu itu saya masih kecil, mungkin baru bisa membaca, malah. Namun keinginan untuk berbagi kebisaan, rasanya membuncah!

Satu siang,
Bapak Guru Kesenian SD (dulu pelajaran Menggambar atau Menyanyi disebut dengan pelajaran Kesenian) tempat saya sekolah sedang berkeliling, 
dan beliau berhenti sejenak di meja saya. Ia tertarik dengan karya saya yang "bercerita". 

Di usia 6 - 7 tahun, dimana saat pre-skematik proses baru terjadi, 
anak-anak seusia saya biasanya "hanya" menggambar pemandangan membosankan yang berupa dua buah gunung (visual dari segitiga) mengapit matahari (lingkaran) dengan banyak sekali petak sawah di hadapannya (visualisasi kotak atau persegi). Maksimal ditambahkan jalan meliuk (visualisasi dari spiral), dengan aksesori burung dan pohon.



Nah, sementara teman-teman menggambar pemandangan tersebut,
ternyata langkah saya sudah "berkelana". Saya menggambar balon udara terbang, dengan seorang anak petualang -aka saya sendiri- yang terjatuh dan diselamatkan oleh seekor burung raksasa, serta ditunggu di Istana oleh Raja dan Ratu Peri di balik semak bunga!

Pak Guru pun memuji karya saya! 
Beliau meminta saya maju ke depan untuk menceritakan makna gambar saya. Sejak saat itu, Pak Kusno -Guru Kesenian saya tersebut- meminta kami untuk "bercerita" dahulu, baru kemudian menggambarkan apa yang ingin kami ceritakan! 

Waaah.... sejak itu, saya merasa peran Pak Kusno ini besaaar sekali dalam menjadikan saya yang begitu cinta sama dunia seni! Saya bertekad, ingin juga berbagi kebisaan ini, sekaligus memotivasi orang-orang di sekitar untuk berkarya.

Berbagi Virus Menggambar
Buat orang dewasa, mencoret-coret yang dilakukan oleh anak dimaksudkan untuk melatih perkembangan motorik halus. Latihan ini akan dibutuhkan untuk membantu anak menulis dan menggambar kelak.

Kegiatan ini juga menjadi sarana bagi si kecil untuk mengungkapkan atau mengekspresikan dirinya, meskipun gambar yang dihasilkan terkadang tidak bisa dimengerti oleh orangtua.

Contoh? Bisa tahu tidak, ini gambar apaan?

Gambar ini adalah ekspresi seorang anak saat akan diserang oleh monster! Lihat, dia bersembunyi di balik batu, dan membawa beberapa senjata. 


Keren kan? Btw, itu yang menterjemahkan gambarnya bukan saya, anyway, tapi seorang psikolog. 

Saat tahu bahwa menggambar itu sama dengan mengekspresikan diri, atau bercerita secara visual, saya jadi ingiiiin sekali satu saat nanti bisa berbagi kebisaan menggambar, padahal saat itu saya juga ga tahu saya bisa gambar apa tidak!

"Tak semua anak beruntung bisa mengecap pendidikan yang baik!" 
Walaupun katanya beberapa orang sukses TIDAK makan bangku sekolahan, tapi sekolah menjadi sarana bermain, berbagi, sekaligus bersosialisasi loh.. Buktinya, saya bisa menjadi yang sekarang tentu karena SEKOLAH!
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat tak kurang dari 4.1 juta anak berusia 6-21 tahun tidak sekolah.
Too bad, beberapa daerah di Indonesia masih belum dapat menikmati pendidikan, salah satunya di Jawa Barat. Aneh tapi nyata. 

Jawa Barat yang selama ini kita kenal terbatas hanya daerah Bandung dan sekitarnya, terkenal menjadi salah satu destinasi wisata, lokal maupun mancanegara. 

Sebut saja, Lembang. Siapa yang tak tahu Lembang? Ada Boscha, ada Tangkuban Perahu, ada Maribaya. Tapi kita ngga bakalan membahas daerah ini.
Faktanya, di beberapa daerah di Bandung memang tertinggal pada bagian pendidikan! 
Kabupaten Bandung Barat yang termasuk dalam kategori desa sangat tertinggal. Kelima desa itu, yakni Desa Sarimukti dan Desa Cirawa di Kecamatan Cipatat, Desa Margaluyu di Kecamatan Cipeundeuy, Desa Cinta Asih di Kecamatan Cipongkor, Desa Karyamukti di Kecamatan Cililin.
Indeks kemajuan pendidikan di Kabupaten Bandung terbilang masih rendah. Bahkan, beberapa indikator penunjang pendidikan masih banyak yang kurang dan bermasalah. 

"Rata rata lama sekolah kita belum sembilan tahun, masih delapan," ujar anggota DPR RI Komisi X yang membidangi sektor pendidikan, Dadang Rusdianadi Arjasari, Banjaran, Kabupaten Bandung pada tahun 2017 lalu.

Menurutnya, sarana dan prasarana pendidikan di Kabupaten Bandung pun belum merata. Sebab, masih ditemukan siswa yang belajar kondisi sekolahnya mengalami kerusakan sedang bahkan berat. Termasuk fasilitas penunjang lainnya, sehingga dikategorikan masih tertinggal dan belum sesuai standar pendidikan.



Memang, letak sekolah di Kabupaten Bandung relatif jauh dari pemukiman siswa. Sehingga, jika siswa ingin sekolah maka mereka harus menempuh perjalanan yang panjang untuk bisa sampai ke sekolah. Hal itu berdampak pada pengeluaran tambahan orang tua siswa.

Sekolah memang tidak mahal (gratis) tapi jarak yang jauh menuju sekolah membuat orang tua siswa harus mengeluarkan uang tambahan. Sehingga lebih banyak anak yang membantu orang tua bekerja daripada sekolah.

Menuju ke Bandung 
Untunglah, di Indonesia ada Gerakan Relawan Mengajar. Antara lain lewat Indonesia Mengajar dan WWF Volunteer. Program-program ini mengajak banyak sekali masyarakat dan para profesional menjadi relawan pengajar untuk anak-anak SD di seluruh Indonesia.

Sebagai relawan, tentu saja diseleksi dan mendapat pelatihan terlebih dahulu sebelum mengajar anak-anak SD. Kemudian, dikirim ke sekolah-sekolah yang telah dipilih.

Saya termasuk yang beruntung terpilih untuk menjadi relawan, walau bukan sebagai tenaga pengajar SD tapi sebagai relawan berbagi profesi. Saya hanya mendapat kesempatan 3 hari untuk berbagi di 3 desa di sana.

Untuk itu, karena lokasi rumah saya relatif dekat dari jalan tol, maka saya memilih akses bus atau travel. Ada banyak yang melewati daerah Tangerang menuju ke Bandung. Saya bisa pilih naik Primajasa Jakarta Bandung atau travel dari BSD atau yang terdekat dari rumah, yaitu di Ruko Pinangsia, Karawaci, Tangerang.


Suka Duka Mengajar di Pedalaman
So far, jujur saja, nyaris tidak ada pengalaman duka sih.. 
Saya berduka hanya karena saya tahu, akses menuju ke ibukota relatif sangat dekat, namun mengapa daerah ini tak ikut terjamah?

Mengapa seolah banjir informasi tak menyentuh tepian sungai? Rasanya, hanya riaknya saja mencercah bebatuan...
Ternyata, bahkan bukan saya yang datang untuk berniat mengajar. Malahan saya belajar dari mereka yang tetap bersyukur dalam keterbatasan. 
Saya belajar dari tawa anak-anak yang bertelanjang kaki, terlihat selalu bersemangat walau menempuh jarak jauh ke sekolah. 
Tak hanya itu, saya juga merasakan langsung bagaimana kehidupan sehari-hari, entah mandi di sungai, cara bertani, atau cara makan tutut sawah. 


Waktu berlalu dengan cepat. Tak terasa, tiga hari yang sarat kenangan berakhir sudah. 

Rasanya malu.
Jika diri merasa "pintar", mungkin perlu kita ingat lagi, kepintaran yang kita miliki tak sebanding dengan kepintaran anak-anak yang cerdas bertahan hidup di alam dengan banyaaaak ... keterbatasan seperti ini. 
Saya tak hanya datang untuk berbagi, namun sekaligus membentuk sebuah keluarga baru yang dekat di hati.
Sepulang dari sana,
aku merasa kaya! Kayaaa... sekali!

44 komentar

  1. Seru kayaknya berkarya dan mengabdi di pedalaman yah, mbak... saya pernah sekali waktu di salah satu kegiatan Kemdikbud beberapa waktu lalu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyA, pengalaman tak terlupakan ya mas ..thanks for comment

      Hapus
  2. 4 juta anak ngga bersekolah, trus gimana masa depan mereka ya mbak?

    Sedih banget.
    Ditambah tingginya angka stunting, bonus demografi ngga bisa gunakan maksimal

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ngga nyangka ya mbak, dan itu karena kemiskinan pola pikir

      Hapus
  3. Aku daridulu oengen nyobain ngajar di pedalaman gitu. Pernah nyoba ikut Ayo Mengajar apa Indonesia mengajar waktu itu tapi nggak jadi pergi. Huhu. Seru banget kali ya bisa saling berbagi ke anak2 gt. Aku juga pecinta anak2 banget, makanya kalo lagi di rumah pasti dapat serangan jadi pengajar. But i love it. Mengamalkan ilmu itu hal yang paling membahagiakan menurutku ❤️

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yes Cory, percayalah kalau berbagi itu indah ^^

      Next ikutan ngajar di RPTRA dulu aja untuk anak dan remaja di sekitar

      Hapus
  4. Dulu lihat Indonesia Mengajar macam pengen mbak. Sayang waktu itu sudah menikah. Mungkin kalau masih sendirian, saya tertantang mencoba. Rasanya seru saja bisa berbagi untuk orang lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lah.. aku malah baru tahu kalau ada Program seperti ini pas usia udah 40 an hihi..

      insya Allah satu saat bisa yaaa Rizka

      Hapus
  5. Pengalan yang tak ternilai harganya ya mba, bisa mengajar di pedalaman. Sayang sekali Saya dulu ga menikmati masa muda dengan jalan-jalan hingga ke pedalaman-pedalaman :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, iya.
      Coba mengajar anak dan keponakan sendiri juga bisa, lalu merambah ke berbagi ilmu di RPTRA tentang keterampilan juga boleh

      Hapus
  6. Wah saya mah termasuk yang gambar pemandangan, wkwk. Tapi itu si bapak beneran kece ya jaman itu ngajarnya udah begitu. Menstimulasi kreatifitas anak. Ternyata di bandung yang notabene kota besar terkenal masih ada sekolahan yang ketinggalan ya. Huhu. Semoga dunia pendidikan terus berbenah dan membaik hingga daerah pelosok ikut tersentuh :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku terus terang aja masih terkenang cara ngajarnya beliau yang kocak tapi kebapakan. ga nyangka ya, sebagai guru petuah beliau yang sepotong itu bermanfaat banget

      Hapus
  7. Sedih banget Kalo Ada sekolah yang bangunannya bermasalah atau aksesnya sulit..semoga pemerintah bisa lebih perhatian dengan hal2 seperti ini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. amiin.. mana dekat ibu kota juga ya Diar. terimakasih perhatiannya

      Hapus
  8. itu gambar anak kecilnya kok bagusss!!! apalagi setelah diberi warna & dikasih penjelasan psikolog. Semoga tambah banyak pengajar2 kayak mba tanti masuk kepedalaman, biar anak2 lbh bisa mengekspresikan keinginan hati paling dalamnya melalui gambar :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. amiiin... iya itu gambar anak anak yang lalu didigitalisasi oleh seniman terkemuka, ga nyangka kan, kalo imajinasi anak sebegitu jauhnya?

      Hapus
  9. Waktu diajak teman sebagai inspirator di Kelas Inspirasi pertama kali, aku langsung browsing tentang pengalaman para inspirator sebelumnya, biar dapat gambaran.
    Aku langsung berbagi tentang profesiku, seorang blogger.

    Sepakat kata Mba Tanti, pulang dari mengajar yang mungkin hanya kurang lebih 30 menit, aku merasa, justru aku yang terinspirasi oleh murid-murid cilikku itu yang dengan segala keterbatasan tetap semangat meraih masa depan.

    Aku menitip pesan kepada mereka, "Lakukan hal yang kamu suka sepenuh jiwa, karena itu bisa mendatangkan semangat, semangat adalah energi. Dengan energi kamu akan bisa menjadi apa saja!"





    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, semoga kita selalu bisa berbagi ya mbak Anna

      Hapus
  10. Tanti, bunda bangga deh Tanti jd relawan di ledesaan. Semoga ke depannya keadaan akan tertanggulangi dengan baik dan merata dlm artian pendidikan utk mereka yg tinggal jauh dari sekolah sehingga tak jarang mereka terhenti sekolahnya karena kesulitan biaya transports. Poor them. Bangga juga banyakvyg jadi sukarelawan yg mengajar di pedalaman. OOT japsn lg ya kita ber "doole"ria, mak neng tanti sayang? Konten ptostingannya bagus dan manfaat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih banyak sudah mampir Bundaaa... satu kehormatan!
      Banyak relawan yang jauh lebih keren bun, Tanti mah ga ada apa-apanya... cemen hiks..

      Yuk Bun, atur waktu sama Blogger tangsel siaaaap

      Hapus
  11. Ternyata bakat seni mbak udah ada sejak jaman masih imut2 yak. Saya mah cm bs gambar persis kayak gambar di atas: gunung kembar warna biru. Haha. Keren banget psikolog bs terjemahin gambaran anak2 yg multitafsir

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihi.. iya ditambah didukung ibuku yang rajin amat ngebeliin buku gambar mbak

      Hapus
  12. Salut mba Tanti. Bener banget kadang kita malah lebih banyak pada anak anak itu. Belajar mereka tetap ceria juga walaupun dalam keterbatasan

    BalasHapus
  13. Dokter doodleku.. mbaa, mauu ikuut ke bdg naik primajasa... pasti pengalaman yg tak ternilai ya mba. Dan orang2 yg berbagi, semakin kaya. Salah satunya mak Tantiiii

    BalasHapus
  14. Wuih, Mak Neng keren banget iiih. Aku malah yang orang pedalaman belom pernah bisa ngajar. Btw ketang, aku memang gak tahu juga apa yang bisa aku ajarin. Tapi memang iya, unforgettable banget ya ngajarin orang yang gak tahu itu. Aku pernah ikut Kelas Inpirasi. Kepengen ikutan lagi. :)

    BalasHapus
  15. Setuju Mbak, meskipun beberapa orang sukses TIDAK menempuh jenjang pendidikan formal secara maksimal, tapi hal ini bukan pembenaran untuk kemudian tidak melanjutkan sekolah atau malah tidak bersekolah.

    BalasHapus
  16. padahal Bandung dekat banget dari ibu kota Indonesia yang tapi masih ada wilayah tertinggal dengan pendidikan yang juga masih tertinggal disana. semoga keterampilan menggambar dirimu semakin berkah ya dengan berbagi pada anak-anak yang membutuhkan.

    Aku juga dulu pengen bisa menggambar tapi sampai setua ini belum terlaksana keinginan untuk belajar. Seiring waktu malah keinginan belajar menggambar terkikis begitu saja 😃

    BalasHapus
  17. Senangnya bisa jadi relawan mengajar Mbak...Miris emmang ya, daerah yang ibarat sejengkal saja jaraknya dari ibukota masih sedemikian kesenjangannya.
    Semoga pemerataan pendidikan makin baik lagi nanti

    BalasHapus
  18. Ini Bandung ??? Serius ?? Masya Allah masih ada yang sekolahannya begitu padahal deket sama ibukota jakarta huhuhu. Seru banget ya mak tanti, duh aku pengen juga kesana, menyemangati mereka belajar

    BalasHapus
  19. pengalaman yang tak terlupa ya Mak.
    Kalau pas ada tugas ke daerah, saya suka ngobrol dengan guru-guru, menggali pengalaman mereka mengajar di daerah terpencil. Kadang saya nangis, kadang juga tertawa mendengar kisah mereka

    BalasHapus
  20. Pengalamanya seru banget mak. Aku pernah mengajar sekali di sebuah kampung yang jauh banget dari kota, suka banget mengajar bareng teman disana. Selama disana banyak hal juga yang dipelajari. Pengen deh kesana agi dan mengajarkan banyak hal.
    Pasti muridnya senang nih bisa menggambar sama mak Tanti.

    BalasHapus
  21. Niatnya ngajar malah kita yang belajar ya mak :D
    Semangat anak2 ini yang patut ditiru,walau segalanya terbatas tapi msh semanat buat cari ilmu.
    Ah sedih emang kalau sekolahnya jauh dan ongkosnya jd mahal gtu, moga2 pihak pemerintah mau bangun gedung sekolah lbh deket lagi ke [emukiman ya...

    BalasHapus
  22. Kadang-kadang miris juga ya, masih ada di masyarakat ini yang untuk sekolah saja sulit. Kondisi geografis maupun kondisi ekonomi sangat mempengaruhi hal ini. Senangnya ada relawan mengajar seperti Mb Tanti ini yang bisa menyulut semangat belajar mereka. Semoga dengan perjuangan menempuh jarak yang cukup mahal saat ke sekolah, generasi muda kita akan unggul dalam berbagai bidang di masa depan.

    BalasHapus
  23. Ya ampun ternyata masih banyak ya desa pedalaman yang belum mendapatkan akses yang mudah untuk belajar. Luar biasa dan salut sekali untuk orang-orang seperti kak Tanti yang mau mengabdi dengan mengajar di pedalaman.

    BalasHapus
  24. Meskipun ada dukanya saat mengajar di pedalaman, tapi tugas mengajar di sana pastilah sangat mulia, Mbak. Bisa memudahkan mereka yang ada di pedalaman untuk mendapatkan pengetahuan.
    Barakallah ya, Mbak.

    BalasHapus
  25. Dulu aku jaman sekolah dasar paling senang sekali menggambar, bahkan sampai SMU pun masih tapi entah kenapa bakat gambar sirna semenjak bekerja. Aku jadi penasaran dan ingin mencoba bekerja dipedalaman deh.

    BalasHapus
  26. Alhamdulillah ya mak. Bisa menjadi.oranf kaya yang bahagia dunia akhirat

    BalasHapus
  27. Terharu liat fotonya mbak Tanti sama anak2. Keren ih mamak yang satu ini.

    BalasHapus
  28. Wah keren Mbak bisa meluangkan waktunya untuk berbagi dengan anak-anak di pedalaman. Kecamatan-kecamatan di Badung yang disebutkan di atas seingatku memang jauh dari kota.

    BalasHapus
  29. Ya Allah...
    Bandung ini begini yaa...gak kebayang di daerah Indonesia pedalaman lainnya.
    Semoga pemerintah sungguh-sungguh menangani sarana dan prasarana pendidikan ini.

    BalasHapus
  30. Halo Mak....lama nggak mampir, makin cantik aja blog-nya he he.
    Kalau lihat daerah pedalaman seperti itu, kadang rasanya campur aduk ya, masih satu daerah dgn daerah yang ramai, ternyata perbedaannya sungguh jauh.
    Semangat terus berbagi ya, Mak...salam sayang dari Hana ....

    BalasHapus
  31. Wah saya kira di dusun tinggal saya yang masih tertinggal jauh di wilayah Sumatera Utara, ternyata di kabupaten bandung juga masih ada.

    Jadi cerita sedikit, dusun saya itu belum bisa dilalui kendaraan roda 4 dan sekolah masih di dusun sebelah yang harus berjalan kaki sejauh 2 kilometer setiap hari.

    Mindset di sana masih terbelakang, dan merasa kuliah tidak terlalu penting, saya adalah sarjana kedua dari dusun saya yang kuliah di Universitas Sumatera Utara pada 2013, dari saya dirikan Ruang Mahasiswa adalah untuk mendukung informasi perkuliahan bagi seluruh pelosok negeri dan sewaktu - waktu kita melakukan pengabdian ke desa - desa kalo libur semester semasa kuliah dulu.

    - Ronaldi Tumanggor

    BalasHapus

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)