I'm (NOT) Perfect. I Mean It!

Resensi Buku : I'm Not Perfect
Penulis              : Dian Kristiani
Penerbit            :  PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal                 : 153 Halaman, Soft Cover
Cetakan            : I, 2013
Harga                : Rp. 38.500,-
Peresensi         : Tanti Amelia (nengdiary.blogspot.com)
 
I am not perfect!
Are you?

Adakah yang tidak diberi label di dunia ini? Tas, baju, sepatu, ember, mobil.. bahkan seorang ibu pun mendapat banyak label dan cap. Tidak tanggung-tanggung, seorang wanita, istri dan ibu bernama Dian mendapat beberapa label sekaligus! Label itu disematkan oleh lingkungannya setelah melihat bahwa ia melawan arus. Arus yang bernama paradigma ini seolah mengalir sejalan dengan kemajuan teknologi, namun sesungguhnya bersembunyi dibalik payung yang bernama : malas dan negative thinking
            Label pertama  : Ibu yang manja.
            Saat melahirkan anak pertamanya, Edgard secara sectio, ibu-ibu ramai menghujat Dian sebagai ibu yang tidak mau berjuang di hadapan dokter yang matre. Padahal di halaman 7 dan 8  ia bercerita, ia sudah mengalami pembukaan lengkap dengan kontraksi yang makin menghilang. Dan, apa kata dokter saat Dian menjerit-jerit minta dioperasi saja? Dengan kalemnya beliau menjawab, "Mari berjuang sampai titik darah penghabisan." Hmm..siapa yang tak mau berjuang dan siapa yang matre, yah?
            Label kedua : Ibu yang tak peduli.
            Kenapa? Karena Dian tak mau melakukan USG 4 Dimensi! Dengan alasan takut. Ia takut jika sang anak nanti terlihat cacat, sehingga Dian mendapat ‘kado’ wejangan dari suaminya yang bijak. Di halaman 13, sang suami berkata, “Kita beruntung bisa ‘intip’ dia lewat USG. Kalau ada kekurangan fisiknya, kita bisa tahu duluan. Lah kalau dia?”
           Saya membaca halaman 12-13 ini beberapa kali. Ya.. sebagai calon anak, apakah bayi kita  tidak berharap yang sama? Mengintip kita duluan, lalu tawar menawar dengan Tuhan Di Atas Sana untuk memiliki ibu secantik dan seglamor Tamara Bleszynski dengan hati seluas Ibu Teresa. Sudut mataku tergenang tiba-tiba…
Label ketiga : Ibu yang buruk.
           Di halaman 15 hingga 37, Dian bercerita banyak tentang kebutuhan utama manusia : makanan. Sebagai manusia kecil, tuntutan Edgard saat pertama kali hadir ke dunia tentu saja ASI. Namun, jika ditunggu beberapa saat hingga dipompa ASI tak kunjung keluar, apa lantas Dian mendiamkan saja jeritan Edgard? Well, sebagai seorang ibu yang bijak, Dian memilih memberi susu formula pada Edgard. Karena Edgard sebagai manusia kecil lebih memilih minum sufor daripada puasa hingga puting susu ibunya mengeluarkan ASI!        
Tantangan selanjutnya pada urat syaraf Dian adalah ketika memilih  jenis susu formula yang akan diberikan. Tentu saja yang tidak menimbulkan masalah baru, baik pada pencernaan anak  maupun kantongnya. Begitu juga pada jenis makanan tambahan dan rasa.  
             Untuk rasa, Dian memperlakukan anak-anaknya sebagaimana ia memperlakukan dirinya sendiri. Ia membebaskan Gerald yang saat itu berusia 2 tahun, menikmati roti isi keju sementara didekat Gerald ada seorang anak yang oleh pengasuhnya hanya makan brokoli rebus dan jus kubis merah. Tawar, tanpa gula dan garam. Padahal disaat yang sama, sang ibu menikmati roti panggang dan sosis goreng! Sampai disini, lagi-lagi aku bertanya, seberapa ‘buruk’kah label Dian sebagai seorang ibu?  

Label keempat : Ibu yang tega, pelit dan ndeso.
Oh? Really? ‘Dosa’ apalagi yang disandang Dian kali ini? Dalam rangka membebaskan Edgard dan Gerald dari terobsesi pada dot (bahasa Vicky) maka di halaman 52, Dian tega membuang semua dot. Persis di usia mereka 2 tahun. Hmmh great idea! Loh, Neng, katanya tokoh Dian tega, lha kok malah great, piye? Aku tersenyum sendiri, membayangkan anak bontotku yang sekarang berusia 5 tahun, daaan.. masih ngedot! Rasanya, kali ini aku juga akan menjadi ibu yang tega dan pelit seperti Dian ini
(^_^).
 Pelit? Ndeso? Hahaha.. iya, di halaman 82 kelihatan bahwa label itu layak disandang Dian karena beberapa “dosa tak termaafkan”. Dian tak memiliki blackberry type teranyar, tak memakai wedges atau high heels keluaran butik dan tak berfoto di depan Eiffel  setiap hari. Anak-anaknya juga memakai tiruan sepatu karet merek terkenal. 
Untuk dua label ini, Dian tak main-main. Di halaman 84, Dian memaparkan bahwa ia nekad menyekolahkan anak di sekolah ‘biasa-biasa’ saja, tidak bertaraf internasional dengan tuition fee seharga rumah BTN type 36. Ia juga tak membelikan anak-anaknya baby flash card agar lancar jaya membaca sejak bayi. Dan, apa hasilnya? Silakan dicek, Edgard dan Gerald saat ini sudah beberapa kali memasukkan tulisan dan hasil karya mereka ke beberapa media! Kabar terakhir? Edgard, Gerald sedang berkolaborasi dengan seorang penulis anak-anak terkenal bernama Dian Kristiani  (^_^).

Halaman demi halaman selanjutnya, aku membaca kisah perjuangan beberapa wanita lain yang tak seberuntung Dian Sastro; cantik, kaya, terkenal, punya suami pengusaha, punya anak sehat dan hidup bahagia selama-lamanya..*eh (>_<).  Label yang menempel di kerah baju mereka saat ini adalah : janda, mandul, kupu-kupu malam (ada yah?),  perawan tua, mantu mak lampir (mertua) dan si lengan agar-agar.
Aku menyadari, untuk mendapat label perfecto atau sempurna, banyak wanita yang rela mengorbankan apa saja.. baca sekali lagi  :  a p a   s a j a  demi mendapat label tersebut. Dan, aku memilih untuk menjadi wanita dalam buku ini, because… I’m not perfect. I mean it, and I'm happy with that (^_^)


Last but not least, kesimpulaaaan... kesimpulaaan...
1. Buku ini berani menunjukkan betapa sulitnya  menjadi perempuan sempurna.
    Kenapa? Karena masyarakat memiliki parameter tersendiri, sehingga saat kita 
    mencoba mengubah stigma negatif- kita seolah malah melawan arus.
2. Berdamailah dengan diri sendiri, seperti Dian-tokoh dalam buku ini. Jika badan 
    mu gendut, cobalah menjadi tukang masak atau tukang dongeng yang handal. 
    Tidak usah maksa harus jadi fotomodel. Jika kau tidak bisa memberikan ASI,
    berilah sufor dan kehangatan - kasih sayang ekstra untuk anakmu, tidak usah 
    cari pompa berkekuatan diesel untuk memerah susumu.
3. Seperti Dian katakan dalam sekapur sirihnya :

                         We are not in the same shoes, ladies...
                        Perfect or not perfect, still, we are woman.


*Terjemahan bebas -sambil terjun payung :
                  Sepatu lo ama sepatu gue ga sama, sob... sempurna kek, kagak kek... yang penting kita sama-sama perempuan
.


9 komentar

  1. Aku kagum deh sama uraian reviw novelnya yang super komplit mbaa... ajarin dong, betewe mau bikin menu horisontall ga...hehehe omahantikku sudah sembuh loo ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Omahantik sayangku, mau bangeeet ^_^ aku udah beberapa kali mencoba bikin menu horizontal ga bisa bisa >_< sedih deh

      cara bikin review novel? oh, oke nanti khusus tak jawab, yah .. bentar menyapa jeneg Anne Adzkia dan jeng Wuri Nugraeni dulu yaa

      Hapus
  2. review yang keren. suka dan jadi penasaran sama bukunya.

    BalasHapus
  3. aku juga suka bukunya, membuka mata agar lebih empati pada sesama perempuan :-)

    BalasHapus
  4. Satu kehormatan nih, dikunjungi seorang Anne Adzkia :) apalagi kalau dibilang keren, padahal aku banyak belajar dari blog seseorang bernama anneadzkia.com hihihi

    thx for coming ciiiyn *peluk Anne

    BalasHapus
  5. Wurinugraeni, makasih sudah mampir, plus meninggalkan jejak disini.

    Membuat review buku ini tidak hanya karena sedang ada GA dari Dian Kristiani, tapi sekaligus mencari 'pembenaran diri' *eeeh...

    No no no .. actually, I decided to make this because I've got mad of a lots of woman judges each other (I did it sometimes >_<)

    BalasHapus
  6. aku juga udah punya bukunya mba.. tapi belum kureview

    BalasHapus
  7. Aaah kepingin baca jugaa setelah baca reviewnyaaa...

    BalasHapus
  8. Terimakasih banyaaak sudah bersedia mampir, jeng Rahmi Aziza dan jeng Nurul Noe ^_^

    BalasHapus

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)