Mengejar Keadilan dalam Kekerasan Seksual Melalui Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender


Sore itu, aku berjalan gontai. 

Aku baru saja usai ekskul padus (paduan suara) dan rasanya hari ini lelah sekali. Namun aku ingat belum bayar SPP sekolah SMA. Teman-teman sebagian besar sudah pulang, jadi aku menuju ruang Tata Usaha (TU) sendirian.

Karena gedung sekolah saat itu tengah renovasi, maka ruang yang difungsikan untuk ruang Tata Usaha ini, hanyalah sebuah bilik darurat sederhana dari triplek, dan terletak persis di sebelah gudang yang berisi peralatan marching band dan peralatan olahraga milik sekolah lainnya.

Di ruang yang minim cahaya dan agak pengap, karena sebentar lagi sudah magrib, seorang petugas Tata Usaha masih sibuk membereskan buku-buku.
Biasanya, aku dilayani oleh Ibu Tata Usaha, dan baru kali ini aku berhadapan dengan seorang bapak. Usianya sekitar 40 tahunan, gagah dan berkumis tebal, mirip Inspektur Vikram di film-film Bollywood.

Aku mengucap salam, dan memberikan kartu SPP yang uangnya sudah di-stapler oleh Mama.

Usai mencatat keuangan di komputer, si bapak memberikan tanda tangan dan stempel, namun saat mengembalikan kartu, bapak itu tiba-tiba memegang erat pergelangan tanganku. Posisiku masih berdiri di sudut meja, dan ia duduk di mejanya. 

Aku membeku terdiam. Otakku tak bisa memproses kejadian yang mengejutkan ini. Karena ia merasakan aku membeku, ia merasa mendapat angin dan semakin berani. 

Tangannya semakin kencang menarik tanganku, dan ia mencium-cium punggung tangan,  dan berkata sambil tersenyum memuakkan. Aku lupa apa yang ia katakan saat itu, namun intinya: "Sini kita ciuman bibir!"

Saat itu, seolah tersadar dari tonic immobility, aku merasakan serangan panik. Nafasku memburu, dan sadar bahwa aku berada dalam kondisi berbahaya. Otakku langsung memberikan instruksi,  aku harus menjerit sekuat tenaga. 

"Astaghfirullaaah! Nggak, Pak! Saya nggak mau!" 

Mungkin si bapak tahu bahwa teman-temanku yang lain sudah pulang, maka ia belum melepaskan tanganku, dan semakin menjadi-jadi, terus mencium hingga sampai ke pangkal tangan. Untunglah, aku terus berontak sambil  menendang-nendang mejanya. 

Saat itu aku merasa ketakutan yang luar biasa, karena aku tahu sekolah sudah sepi, dan aku pasti kalah tenaga. Karena aku terus memberontak dan berisik, akhirnya ia mau melepaskan tanganku. Aku langsung berlari sekencang-kencangnya ke luar! 

Aku tidak berhenti berlari hingga naik angkutan umum, tak berani membayangkan jika saat itu aku terperangkap, diancam, dan dilecehkan! Aku tak berani bercerita pada siapa pun, namun sejak saat itu, aku selalu meminta Mama langsung memberikan uang SPP ke guru atau wali kelasku, hingga lulus sekolah.

Sexual Harrasment, Does Exist!

Setelah aku dewasa, aku baru bisa flashback dan mencerna kembali kejadian yang telah lama berselang tersebut. Itu pun, setelah berdamai dengan diri sendiri bahwa saat ini aku sudah membekali diri dengan beberapa olahraga fisik seperti bela diri dan lari. 

Hal ini kembali teringat, saat aku membaca sebuah postingan di instagram, tentang seorang Ibu yang merasa pedih hatinya, setelah si buah hati mengalami pelecehan. Sayangnya, pelecehan tersebut dilakukan oleh tetangga dekat rumahnya!

Ada beberapa poin yang kucatat, antara lain;
  • Korban sexual harrasment, biasanya tak berani mengatakannya kepada  siapa pun. Ada rasa takut, malu, khawatir dilabeli dan dicecar pertanyaan seperti:

    "Kenapa bisa ada di posisi itu?"

    "Kenapa kamu bayar SPP sore menjelang magrib? Mengapa tidak dari pagi?"

    "Mengapa kamu tidak minta salah seorang teman menemani hingga ruang Tata Usaha?" 

    dan lain sebagainya.

  • Trauma kejadian tersebut, ternyata masih terbayang hingga sekarang. Sangat sulit mengenyahkan perasaan tersebut, hanya saja jika dulu aku ketakutan meilhat pria berkumis tebal - atau bergidik jika melewati ruang Tata Usaha - atau bahkan Ruang Arsip di kantorku saat itu, maka sekarang sudah berkurang.

    Aku bahkan memiliki kebiasaan mencuci tangan hingga pangkal lengan berulang kali, dalam kurun waktu lama, hingga bertahun-tahun. Kebiasaan ini menghilang sedikit demi sedikit - setelah aku membekali diri dengan olahraga lari dan bela diri. 

  • Dampak terbesar, tentu saja untuk keluarga. Aku merasa tak suka jika suami memegang tanganku dalam tempo lama. Aku sangat cerewet terhadap anak-anak, mengingatkan bahayanya pergi sendiri. 

  • Aku selalu tak pernah lupa membawa gunting, cutter dan merica bubuk  di dalam tas saat bepergian! 
* Cerita di atas bukan fiktif, nama dan tempat kejadian disamarkan - diceritakan langsung oleh salah seorang sahabat kami di sebuah komunitas. Kami telah meminta ijin beliau untuk dituliskan.

Rape Culture dalam Masyarakat, Melahirkan KAKG

Sumber : viva.co.id


"Jangan berpakaian terbuka, nanti digodain orang!".

"Salah sendiri, kenapa pulang malam?" 

"Kenapa harus lewat jalan itu? Kenapa tidak memutar lewat jalan lain saja?"

Ada banyak sekali kalimat serupa diutarakan oleh masyarakat kita, jika mendengar kasus pelecehan seksual. Hal ini, secara tidak langsung malah menyalahkan korban kekerasan seksual. 

Padahal, seperti kita semua tahu, pelecehan di ruang publik (catcalling) atau bahkan kasus pelecehan lainnya, tak hanya terjadi pada korban yang menggunakan pakaian terbuka, bahkan perempuan yang berhijab juga pernah mengalaminya!

Istilah Rape Culture dapat diartikan sebagai pernormalisasian 
masyarakat atas tindakan kekerasan atau pelecehan seksual, 
yang terjadi di lingkungan sehari-hari.

Seorang wanita advokat muda bernama Justitia Avila Veda (28 tahun) pernah mengemukakan hal tersebut. Semua kalimat tak sedap didengar tersebut, hanyalah sebagian contoh kecil yang pernah dialami oleh mayoritas perempuan di Indonesia, bahkan di seluruh dunia.
"Sebagai perempuan, masing-masing di diri kita pernah menjadi penyintas (kekerasan seksual). Dan saya melihat negara kita itu sangat patriarkal, sehingga sangat susah untuk perempuan mencari keadilan kalau tidak ada dukungan yang cukup,".
Kekerasan seksual memang kerap terjadi pada siapa saja baik perempuan, laki-laki maupun kaum minoritas. Akan tetapi, kentalnya budaya patriarki di Indonesia seringkali menjadi sumber dari banyaknya persoalan seputar kekerasan seksual.

Budaya patriarki yang cenderung menyalahkan korban (victim blaming) dari keluarga, masyarakat hingga aparat penegak hukum ini kerap kali menjadi batu sandungan bagi para korban yang tidak mendapatkan pendampingan yang memadai.

Keprihatinan atas hal inilah yang membuat Justitia Avila Veda mendedikasikan dirinya untuk menolong korban kekerasan seksual. Awalnya, advokat yang bekerja di sebuah LSM konservasi ini memulai upaya bantuannya ini dengan sebuah tawaran konsultasi melalui akun Twitter-nya @romestatute pada 2020 silam. Rupanya kicauannya yang menawarkan bantuan untuk para korban kekerasan seksual ini mendapat respon positif dari warganet.

Selama 24 jam pertama, direct message dan email-nya dibanjiri oleh berbagai pertanyaan mengenai kekerasan seksual. Tidak hanya itu, beberapa pengacara dan jaksa juga menawarkan dukungan kepadanya. Melihat antusiasme masyarakat atas informasi mengenai kekerasan seksual ini yang mendorong Justitia Avila Veda membentuk Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) pada Juni 2020 lalu.

Terbentuknya Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG)

Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) merupakan sebuah kolektif pengacara dengan anggota kurang lebih 20 orang yang fokus untuk memberikan konsultasi dan bantuan hukum secara pro bono (pengabdian masyarakat) untuk korban kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender lainnya.

Salah satu tujuannya untuk menghindari terjadinya revictimisasi atau suatu kondisi di mana korban kembali menjadi korban untuk kedua kalinya saat mencari bantuan hukum.

Menurut Veda, korban kekerasan seksual rentan terhadap revictimisasi karena seringkali mereka mendapatkan stereotype dari aparat penegak hukum di saat mereka berusaha mengakses bantuan hukum. 

Pertanyaan-pertanyaan bernada menyalahkan mengenai pakaian terbuka, keluar di malam hari dan minum-minuman beralkohol semua menyiratkan bahwa peristiwa buruk yang menimpa mereka adalah kesalahan mereka sendiri.

Realitanya, kekerasan seksual pun tidak hanya terjadi secara langsung, kini pun sering terjadi secara online. Selama pandemi, KAKG mendapat banyak aduan mengenai Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).

Dikutip dari Instagram @advokatgender, kekerasan berbasis gender adalah kekerasan fisik, psikis atau seksual yang bermula dari asumsi status gender tertentu. 

Sedangkan kekerasan berbasis gender online terjadi di ranah internet dan media sosial seperti penyebaran konten intim, penyebaran informasi pribadi orang lain tanpa izin (doxing), membuat akun atau konten seolah-olah mirip dengan orang lain dengan tujuan melecehkan (impersonation) hingga kasus pemerkosaan yang berasal dari aplikasi kencan.

"KBGO banyak terjadi dalam situasi pandemi. Karena mereka kebanyakan di dalam rumah dan interaksi mereka berpindah dari offline dan online," jelas Veda.

Dibentuk saat situasi pandemi Covid-19, KBGO mendominasi kasus yang ditangani oleh tim KAKG dari sebanyak lebih dari 150 aduan yang masuk. Selain itu, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga menjadi yang terbanyak diadukan.

Sementara itu menurut data Komnas Perempuan, pada 2020 angka kekerasan berbasis gender siber mengalami kenaikan pesat, hampir 400 persen. Data SIMFONI PPA pada Januari-2 Desember 2021 menunjukkan, kasus KDRT mendominasi bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan, yakni 74 persen dari total 8.803 kasus.

Data tersebut juga mengungkapkan, selama pandemi pada 2021 terdapat 12.559 kasus kekerasan terhadap anak. Kasus kekerasan seksual menjadi kasus kekerasan terhadap anak yang paling banyak dilaporkan, yakni 60 persen dari total kasus.

Cara Mendapatkan Pendampingan Hukum KAKG



KAKG membuka konsultasi hukum untuk siapapun secara online di seluruh Indonesia. Dari formulir online yang bisa diakses di akun Instagram @advokatgender, nantinya akan dilakukan penilaian apakah aduan tersebut perlu pendampingan hukum secara langsung, litigasi dan non litigasi.

Jika korban ingin menempuh jalur hukum atau litigasi, biasanya pihak advokat juga akan menyediakan bantuan psikologi dan medis, mengingat proses penyidikan hingga pengadilan yang memakan waktu panjang dan akan berdampak pada psikis korban. Akan tetapi, tidak semua korban mau menyelesaikan ke proses litigasi dan lebih memilih jalur di luar pengadilan (non litigasi).

Dengan keterbatasan sumber daya manusia dan juga waktu, KAKG kemudian membuat kelompok penerima manfaat prioritas seperti korban anak, disabilitas, kelompok minoritas seksual dan konflik untuk proses litigasi. Sementara itu untuk korban yang lokasinya berada di luar kota, pihak KAKG akan berupaya mendampingi satu hingga dua kali dan berkoordinasi dengan mitra Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di kota setempat.

"Proses litigasi bisa memakan waktu sangat panjang dan sangat patriarkal. Bahkan ada beberapa kasus yang kalau dilaporkan ke polisi tidak menguntungkan korban, sehingga lebih banyak yang non litigasi," tutur lulusan University of Chicago Law School ini.

Veda lalu mewanti-wanti para pengacara, konsultan, hingga orang-orang di luar sana yang secara sengaja maupun tidak menekan korban untuk melapor. Menurut Veda, kita tidak boleh memaksa korban untuk mengambil keputusan melaporkan kasusnya.

Kita tidak boleh punya mindset kalau kamu mengalami kasus ini [kekerasan seksual] kamu harus lapor, tidak bisa, kita tidak bisa. Kita seperti mengambil alih agensi korban untuk memutuskan apa yang terbaik buat dia."

-Justitia Avila Veda

Lebih lanjut, Veda memaparkan tugas pengacara sebenarnya adalah memberikan informasi, positif-negatifnya dan pro kontra, kemudian memberikan advice. Bukan untuk membuat keputusan bagi korban.

"Make sure mungkin ada self critic juga atau gerakan yang mungkin mendorong, misalnya, ini kasus yang harusnya dilaporkan, balik lagi korbannya mau atau tidak. It's not about you sebagai pendamping, tapi is always about the victim," ucap dia. 


Kendala dan Batu Sandungan dalam Hadapi Kasus



Penyelesaian semua kasus diakui Veda tidaklah mudah. Akan tetapi, terdapat beberapa kasus yang dapat merugikan korban dan malah dapat menyerang korban balik sebagai pihak tersangka. Contohnya, kasus penyebaran konten pornografi yang diatur dalam UU ITE dan UU Pornografi. Banyak pihak yang menggunakan 'pasal karet' dalam UU ITE untuk membungkam korban kekerasan seksual.

Salah satu contohnya adalah Baiq Nuril, korban pelecehan seksual yang dilaporkan oleh pelaku dengan dugaan mendistribusikan informasi elektronik yang memuat konten asusila. 

Baiq terjerat Pasal 27 ayat 1 yang berbunyi "Setiap orang dengan sengaja tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan."

Begitu juga dengan konten pornografi yang dibuat oleh korban yang pernah berpacaran dengan pelaku. Meski korban tidak mengizinkan video tersebut disebarluaskan oleh pelaku, dalam hal ini korban juga dapat menjadi tersangka yang membuat konten pornografi.

"Kasus seperti ini banyaknya kami tangani secara non litigasi," ujar Legal and Policy Manager di Konservasi Indonesia tersebut.

Kendala lainnya adalah kurangnya respon cepat dari aparat penegak hukum. Akan tetapi, ia juga tidak menyarankan memviralkan suatu kasus agar mendapatkan respon cepat. 
Fenomena memviralkan kasus demi mendapatkan respon cepat aparat penegak hukum, membuat Veda merasa miris. Menurutnya ini sangat mengecewakan dan menodai norma hukum di negara kita ketika aparat penegak hukum baru merespon saat mendapatkan perhatian publik.

Dari sisi korban, ia juga tidak menyarankan hal ini untuk dilakukan mengingat korban kekerasan seksual pasti mengalami trauma dan belum tentu akan mendapatkan pembelaan dari warganet. Ini dapat membentuk situasi revictimisasi dan akan semakin membuat mental korban jatuh.

"Saya kurang suka cara tersebut, apalagi kalau bukan korban yang minta. Tidak menghargai korban sebagai pemilik cerita dan hasilnya akan sangat random karena kita tidak tahu akan seperti apa respon netizen," tutur Veda
.
Kendati begitu, kehadiran UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru diterbitkan pada Mei 2022 lalu dianggap menjadi angin segar dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual di Indonesia. Hanya saja, Veda menilai bahwa undang-undang ini belum diimplementasikan dengan baik oleh aparat penegak hukum.

Penghargaan SATU Indonesia Awards 2022



Upaya Justitia dan KAKG untuk membantu para korban kekerasan seksual membawanya pada penghargaan bergengsi ini. Apresiasi SATU Indonesia Awards 2022 Bidang Kesehatan yang diterima Justitia diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan kekerasan seksual dan kehadiran KAKG untuk membantu para korban.

Selain itu, apresiasi dari PT Astra International Tbk. ini telah mendukung KAKG dalam hal finansial untuk berbagai proses litigasi yang diperjuangkan kolektif ini.
"Biaya litigasi sangat mahal. Dari penghargaan ini kami mendapatkan dukungan finansial dari Astra yang sangat membantu beberapa biaya operasional kasus yang tertunda," ujar Veda.
Ke depannya, Veda berharap dari jejaring para penerima apresiasi, KAKG dapat menjalin lebih banyak kerjasama dengan mitra advokat di daerah. Dengan demikian, semakin banyak korban kekerasan seksual yang dapat dibantu secara maksimal.

Sumber gambar dan referensi tulisan :
  • https://www.satu-indonesia.com/
  • IDNtimes
  • Republika
  • viva.co.id
  • beautynesia.id

5 komentar

  1. Wah benar banget tuh, Kak memang para korban kekerasan harus mendapatkan perlindungan

    BalasHapus
  2. Saya jadi keinget juga nih, Kak sama kejadian saya dulu yang mengerikan huhu

    BalasHapus
  3. Wah benar banget tuh, Kak memang upaya Justitia dan KAKG untuk membantu para korban kekerasan seksual harus diberi apresiasi

    BalasHapus
  4. Saya selalu merinding, Kak kalau ada cerita korban kekerasan gitu. Kasihan huhu

    BalasHapus
  5. Keren banget nih, Kak memang kegiatan untuk melindurngi para korban. Semoga sukses selalu

    BalasHapus

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)