MUSEUM BENTENG HERITAGE TANGERANG, the piece of puzzle

MUSEUM BENTENG HERITAGE
Aku berjalan pelahan, menerobos Pasar Lama Tangerang. Sesekali berhenti, memotret beberapa jajanan pasar atau aneka barang yang dijajakan. Bau amis ikan, daging babi yang diasap, berbaur dengan manisnya aroma kue pukis dan hio yang menyengat.




Di depanku, langkah kaki Abang sudah tak nampak lagi. Ia telah menerobos kerumunan sekelompok mpeh dan encim yang bersiap-siap ke Kelenteng Boen Tek Bio. Aku memang sedang merambah Pasar Lama, satu sudut kota di Tangerang, menapak tilas jejak sejarah Cina peranakan. Ditemani Bang Dho, perjalanan ini jadi menyenangkan!

Sebagai warga negara Tangerang sejak tahun 2000, aku sudah lama tahu bahwa sudut-sudut kota ini menyimpan sejuta memoar dan sejarah unik. Tangerang dan kisah tentang Cina peranakan di Indonesia memang memiliki tempat tersendiri di hatiku. Sekilas, terlempar jauh ke negeri Tirai Bambu rasanya.

Entah mengapa, aku tertarik sekali dengan sejarah tentang Cina peranakan. Bahkan di sebuah calon novel -yang hingga sekarang belum usai kutulis-, aku memaparkan banyak hal berkaitan dengan inkulturasi budaya lokal dengan Cina yang sudah berlangsung beberapa abad lalu.

Foto diambil dari detik.com


Ketika hiruk pikuk kelenteng sudah hilang, aku tersadar. Aku berdiri di tengah persimpangan sunyi, dengan sederet rumah kuno -sebagian dari kayu- bercat biru telur asin.

Oh! Di mana Abang? I get lost! Aku seperti terlempar jauh ke era tahun 1950-an! Deretan rumah ini memang dipertahankan seperti asalnya.

Tak lama, wajah tampan yang kukenal itu bergegas menghampiri, ia sendiri ternyata berjalan cukup jauh ke dalam gang.

Ternyata, museum ini tersembunyi persis di tengah pasar! 
Di tengah pedagang yang sibuk menjajakan asinan sawi dan cumi asin, terlihat fasad bangunan bercat merah itu. 

Hmm.. aku tak habis pikir. Seandainya saja, jalan masuk ini jauh lebih bersih dan terawat, tidak becek seperti ini...

Masuk ke dalam Museum Benteng Heritage, kakiku menginjak ubin antik berbahan dasar teraso warna merah. Di sisi kiri, terdapat bangku-bangku kayu eboni hitam dan naga kain untuk barongsai yang konon sudah ada sejak tahun 1952. 

Bagi bangsa Tionghoa, naga dan ketiga hewan lain yaitu burung phoenix, kura-kura dan kilin (kirin atau qilin). Ketiganya adalah hewan spiritual yang memberikan berkah tersendiri untuk kehidupan. 

Oya buat kamu yang bukan etnis Tionghoa, Qilin adalah hewan suci, pelindung negeri dari bencana. Qilin adalah pelindung sebelah barat dan dilambangkan dengan kekuatan petir. Qilin berwujud menyerupai kura-kura bersisik, berkepala singa, bertanduk rusa dan lambang bagi pelindung anak-anak.

Di sisi kanan ada sebuah alat untuk melihat slide foto-foto tentang museum, mulai dari restorasi hingga berdirinya museum.

Di loket, aku membayar untuk 2 orang senilai IDR 40K, dan seorang pemandu wisata bernama Rizki pun siap mengantar kami berkeliling museum. Harga tiket masuk ini berbeda untuk pelajar.

 Mereka cukup membayar setengahnya saja. Sementara, jika dibutuhkan pemandu wisata berbahasa Mandarin atau Inggris, kita cukup menambah IDR 50K.

Aku dan Abang memasuki ruang pertama. Melewati pintu bulan, dinamakan demikian karena bentuknya yang bulat dan bercat merah dengan ukiran emas, ada beberapa buah meja dan kursi antik besar. 

Eternit yang tinggi membuat ruang terasa sejuk, dan sekali lagi aku terlempar ke dalam satu waktu dimana para pedagang Cina kaya raya itu hidup. Sayup-sayup, musik tradisional Cina dibunyikan di beberapa pengeras suara tersembunyi.


Dengan santai, si pemandu wisata menerangkan dengan fasih asal mula daerah ini terbentuk. Dimulai dari pemukiman warga Tionghoa pertama yang membuka lahan sebagai daerah perdagangan rempah hingga candu. 

Di sudut kanan terdapat prasasti kecil yang sepintas tak menyatakan apa-apa, hanya sederet nama tercetak dengan ejaan lama. Namun ternyata itulah seratus orang Tionghoa yang menyumbang terbentuknya pintu air pertama di Tangerang. Sekarang, kita bisa melihat pintu air ini di jalan raya terusan menuju Kali Deres.
Istilah Cibeng alias Cina Benteng, berawal dari benteng yang berdiri pada tahun 1685 di timur Sungai Cisadane. Hingga kini, daerah sepanjang sungai ini masih disebut sebagai daerah Benteng Makasar. 
Dinamakan demikian, karena penjaga benteng saat itu adalah orang orang Makasar. Saat ini, sepanjang sungai sudah berdiri Plaza Tangerang dan sebagian kantor pusat pemerintahan daerah. Ada perpustakaan, pemadam kebakaran dan lain lain. Sungai Cisadane juga terkenal karena setiap tahun diadakan lomba perahu naga.
Nama Tangerang, menurut wikipedia dan sejarah bahasa Sunda, terjadi dari Tanggeran, artinya segala sesuatu yang didirikan dengan kokoh (naon-naon anu ditangtungkeun kalawan ajeg).
Orang Tionghoa dari kawasan Ommelanden (luar tembok Batavia) ini sebenarnya tidak disebut Cina Benteng, namun Cina Ilir (Utara) bagi penduduk di utara Tangerang (termasuk Kampung Melayu, Tanjung Burung, Mauk dll) dan Cina Udik (Selatan) bagi penduduk Tionghoa di selatan Tangerang (termasuk Curug, Legok, Panongan).

Dalam bahasa Melayu, bahasa yang berlaku di kawasan ini, Ilir artinya Utara, Udik artinya Selatan, Kulon adalah Barat, dan Wetan itu Timur. Mereka yang tinggal di Ilir atau Udik mengatakan “hendak ke Benteng” bila ingin ke Tangerang.

Usai mengamati foto dan sejarah di bawah, kami beranjak ke lantai dua. Sepatu dibuka dan dimasukkan ke kantong plastik agar kita bawa ke atas. Kita tidak akan turun lagi melalui tangga ini, soalnya.





Masuk ke lantai dua, kita akan menginjak lantai kayu kokoh terbuat dari kayu jati tua berwarna coklat tua. Ulir batang kayu menunjukkan, lantai itu sudah berusia lebih dari tiga ratus tahun! 
Di lantai dua ini, terdapat sebuah kamar pengantin, dengan tempat tidur kayu yang kokoh, lengkap dengan busana adat Tionghoa, aneka selop hingga perhiasan giok dan emas. 
Aku mengagumi karya seni indah itu. Terbayang tokoh novelku, Ai Lie yang dinikahkan dengan seorang pemuda pilihan orang tua mempelai. Yaa, di masa itu, pernikahan adalah hasil dari perjodohan.
Di sini, sang pemandu banyak bercerita tentang Laksamana Ceng Ho, falsafah kebudayaan Tionghoa yang tinggi, hingga kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang membolehkan candu. Aneka pipa pengisap dan aneka koin kuno ditunjukkan dalam sebuah lemari kaca.
Falsafah kuno itu tercermin pada saat ia membawa kami menuju sebuah pintu kayu besar berpalang besi, menuju teras. Kesopanan tamu saat masuk ke pintu rumah secara tak langsung akan tercipta. Dengan cara menunduk dalam, karena ada sebuah penghalang di kaki.

Istimewanya, sekaligus menunjukkan kecerdasan orang Tionghoa juga terlihat saat kita mencoba membuka pintu. Jika kita bukan pemilik rumah, kita tak akan bisa membuka pintu tersebut!

Ada banyak cara rahasia untuk membuka pintu. Ternyata, sebuah pintu melambangkan banyak hal, yaa....

Usai sudah 45 menit berkeliling di rumah Benteng Heritage yang resmi direnovasi tahun 2011 tanggal 11 November ini. Terimakasih untuk Bapak Udaya Halim yang telah bersusah payah menemukan hingga merenovasi cagar budaya indah ini.

Sekedar informasi, Bapak Udaya Halim juga adalah seorang fotografer kawakan. Jika beruntung, saat beliau sedang berada di Benteng Heritage kita bisa masuk ke dalam museum kamera beliau di lantai satu. 
Bagi yang tertarik untuk mencicipi kuliner, Museum Benteng Heritage juga menyediakan paket makanan Cina Benteng. Mulai dari IDR 95K hingga IDR 125K per pax, sudah termasuk tiket masuk museum.
Namun tersedia juga paket hemat seharga IDR 45K terdiri dari : 
  • Hainan Chicken Riceball / Nasi Ulam / Ketupat sayur (pilih salah satu), cendol, air mineral sudah termasuk tiket. 
  • Tempat ini juga dapat digunakan untuk acara arisan, reunian, ulang tahun, meeting atau foto pre-wedding.
Museum Benteng Heritage 
Jl Cilame No 20 - Pasar Lama 
Tangerang 
Telp : (021) 44544529 
  • Jadwal Tour : 13.00 – 18.00 selama 45 menit, max 20 orang
  • Hari Senin libur
  • website : http://www.bentengheritage.com

    Sumber foto :
  • kisah.wiratama.net
  • properti.kompas.com
  • travel.detik.com
  • indonesiadesign.com
  • FB Museum Benteng Heritage

22 komentar

  1. tanteee, ajakiiin kesini donggg huah. mupeng liat foto fotonya. cieee menrobos pasar segala :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tariiii..... tinggal atur waktunya aja, emang rencana balik lagi ma temen temen blogger kok, Insya Allah pak Udaya Halim memberikan ijin ^^

      Iyas... bahasanya yah ..muahahaa, sok sok iya gimana gitu

      Hapus
  2. Wah, bisa dicoba ni buat jalan-jalan kesana, terima kasih mbak infonya hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Defi, ga semua orang Tangerang dan etnis Chinese tau tempat ini loh
      ... #disini saya merasa sedih...

      Hapus
  3. Selama ini saya hanya berkutat di Jakarta saja.
    Kapan-kapan ke Tangerang ach
    Benteng yang keren
    Terima kasih infonya yang lengkap dan menarik
    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asyik... saya bersedia luar dalam mengantar Pakde !

      Hapus
  4. Tempatnya antik banget ya mak, aku tuh suka banget ke museum, tp blm ada waktu buat jelajahi museum2 :(

    BalasHapus
  5. Wahhh...asyik juga nih Ci museumnya, aku sm akang suami lumayan suka berkunjung ke museum walopun yg didatangi belom banyak hihihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo ke Tangerang kutraktir makan lumpia semarang di depan museum ituuu

      Hapus
  6. terimakasih informasinya sangat bermanfaat, saya tunggu artikel" selanjutnya ya..
    jangan lupa kunjungan baliknya gan, thanks

    BalasHapus
  7. dari bintaro ke arah mana ya mba? duh, warga tangerang blm pernah kesini nih, kudet banget. abis jarang jalan2

    BalasHapus
    Balasan
    1. ke arah Tangerang kota tua itu mbak, dekat klenteng Boen Tek Hio

      Hapus
  8. waaaa....museumnya cantik yaa, masukin list kalau mudik nih eyke mba....

    BalasHapus
  9. Balasan
    1. seperti masuk ke jaman Koh A liong mas Indra :p

      Hapus
  10. Mbak, terus novelnya gimana ? udah jadi? apa judulnya ?

    BalasHapus

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)