Ketika Gen Z Membawakan "Bahasa Korporat" ke Tingkat Absurditas Baru


    Pernah gak sih, lagi asyik ngopi pagi, tiba-tiba dapat email dari kolega Gen Z yang isinya bikin alis naik sebelah? Atau pas lagi meeting, mereka dengan santainya nyeletuk istilah yang bikin kita mikir, "Ini bahasa manusia apa kode satelit?" 

    Selamat datang di era "Bahasa Korporat" ala Gen Z, di mana elaborate bukan lagi soal menjelaskan panjang lebar, tapi lebih ke, "Ya udah, lu ngerti sendiri lah maksud gue!" 👽

Contoh Percakapan Gen Z dan Baby Boomers yang Suka Nggak Nyambung

Percakapan di Balik Layar (sebelum posting) antara Gen Z (nama: Luna, 23 tahun, baru setahun kerja) dan Pak Budi, 58 tahun, kepala Departemen Senior.

    

Luna : "Pak Budi, kita bisa elevate visibility di platform sosmed nih. Foto ini punya high traction potential."

Pak Budi : "Elevate visibility? Maksudnya apa itu, Nduk? Biar kelihatan banyak orang? Ya bagus lah kalau begitu."

Luna: "Betul, Pak. Ini bisa jadi engagement booster yang signifikan. Kita bisa leverage narasi legacy folklore Bapak yang udah durable ini."

Pak Budi: "Legacy folklore? Saya cuma pensiun, kok jadi kayak cerita rakyat?"

(Pak Budi senyum-senyum bingung).

Luna: "Bukan, Pak. Maksudnya, journey Bapak yang panjang ini adalah aset strategis. Kita bisa optimize ini untuk brand image perusahaan."

Pak Budi: "Oh, gitu ya... Jadi saya ini aset ya? Hmm, lumayan juga dibilang aset."

Luna: "Yup! Nah, saya mau craft caption yang agile tapi tetap impactful. Nanti saya develop beberapa offering matrix caption-nya, Bapak tinggal pilih yang compatible across department."

Pak Budi: "Matriks-matriks apa lagi itu? Luna, ini foto saja kok ya ribet sekali. Kan tinggal tulis 'Selamat Pak Budi, pensiun!' begitu saja."

Luna: "Itu terlalu basic, Pak. Kita perlu narrative arc yang kuat biar dapat organic reach dan menghindari low engagement rate."

Pak Budi: (Menghela napas, sambil senyum maklum) "Terserah kamu saja lah, Nduk. Yang penting jangan aneh-aneh."

Luna: "Siap, Pak! Ini core request saya: nanti Bapak endorse postingan ini ya, biar reach-nya lebih luas."

Pak Budi: "Endorse? Ya di-like saja kan? Gampang itu."

Elaborate, Raise Concern, dan Klausul yang Bikin Pusing Tujuh Keliling

    Mari kita mulai dari "elaborate". Dulu, ini berarti menjelaskan sesuatu secara detail, runut, dan mudah dicerna. 

Sekarang? 

Gen Z memakainya seolah-olah itu mantra sakti. "Bisa tolong elaborate lagi tentang project ini?" Padahal, yang keluar cuma dua kalimat singkat, seolah otak kita ini dilengkapi chip khusus buat nerjemahin bahasa alien. 

Alhasil, kita cuma bisa manggut-manggut sok paham, 
padahal di dalam hati udah teriak, 

"ELABORATE DARI MANA?! INI MAH CUMA GARIS BESARNYA DOANG!"

    Terus, ada lagi jagoan baru: "raise concern". Ini nih, kalimat paling passive-aggressive sepanjang masa. Daripada bilang, "Gue gak setuju!" atau "Ini idenya jelek banget!", mereka dengan manisnya bilang, "I just want to raise concern regarding the feasibility of this timeline." 

    Kesannya lembut, padahal dalam hati mereka mungkin lagi misuh-misuh sambil banting keyboard virtual. Kita yang mendengarnya pun cuma bisa senyum kecut, antara gak enak mau ngegas balik atau bingung mau nanggepin kayak gimana. 

    Jadi, intinya, kalau Gen Z sudah mulai "raise concern", itu artinya lampu merah menyala, dan siap-siap saja dengan segala revisi yang menyusul.

    Belum lagi urusan klausul biar bisa clear scope. Dulu, kita kenalnya Term of Reference (TOR) atau Scope of Work (SOW) yang tebalnya kayak kamus. Sekarang, Gen Z punya "klausul" versi mereka sendiri. Isinya kadang cuma poin-poin singkat yang entah kenapa harus di-email tiga kali dengan subjek berbeda-beda, seolah kalau cuma sekali dikirim, scope-nya jadi keruh dan buram. 

    Seakan-akan, kalau scope tidak clear, nanti kita semua kena kutukan "warisan leluhur" alias our agreement by legacy folklore. Jujur saja, siapa sih yang mau kerja tanpa kejelasan? Tapi ya itu, kalau Gen Z yang bikin, legacy folklore itu rasanya lebih nyata daripada deadline.


The Core Request: Antara Minta Tolong dan Perintah Mutlak

    Sekarang kita masuk ke "core request". Ini adalah puncak gunung es dari semua keambiguan. "Can you address my core request?"

    Dengar kalimat ini, rasanya jantung langsung berdegup kencang. Pertanyaannya, mana yang disebut core request? Apakah itu paragraf ketiga di email yang panjangnya kayak skripsi? Atau coretan tangan di memo kuning yang ditempel di layar monitor?

    Atau core kayak di Sunglowmama blog yang mengkhususkan journaling untuk ibu sibuk ?

    Seringkali, core request ini muncul setelah mereka mengirimkan serentetan instruksi yang tidak koheren, melompat-lompat antar topik, dan diselingi emoji anjing laut. 

Begitu kita bingung, mereka dengan santainya menanyakan core request-nya. Rasanya ingin menjawab, "Lah, emang ada ya core-nya dari semua chaos ini?!" Tapi ya sudahlah, kita kan profesional, jadi cuma bisa tersenyum simpul sambil mencoba menafsirkan apa maunya si adik-adik ini.


Agility Maksimal, Minimum Burnout: Mitos atau Realita?


    Nah, ini dia yang paling bikin geleng-geleng kepala: karyawan hybrid dengan agility maksimal dan minimum burnout. Gimana caranya, bro? Di satu sisi mereka mau kerja dari mana saja, kapan saja, dengan agility yang katanya bikin lincah kayak cicak di dinding. Tapi di sisi lain, mereka juga pengen minimum burnout. Jadi, maunya kerja keras sampai titik darah penghabisan tapi gak mau capek? Ini semacam konsep unicorn di dunia kerja, cuma ada di dongeng.

    Padahal, kita semua tahu, kerja hybrid itu kadang lebih capek dari kerja di kantor. Kenapa? Karena batas antara kerja dan hidup pribadi jadi kabur. Tapi ya sudahlah, Gen Z punya definisi burnout sendiri. 

    Mungkin bagi mereka, burnout itu kalau kuota internet habis pas lagi streaming Netflix setelah meeting jam 10 malam. Jadi, ketika mereka bilang minimum burnout, artinya mereka ingin bekerja dengan ritme mereka sendiri, tanpa tekanan, tapi hasilnya tetap magical. Luar biasa!


High Traction Style, Durable Saat Overtime, dan Offering Matrix yang Misterius


    Pernah dengar "high traction style yang compatible across department"? Ini bukan tentang fashion ya, tapi tentang bagaimana cara kerja mereka bisa diterima di semua divisi. 

    Jadi, Gen Z ini mau gayanya santai, pakai hoodie ke kantor, meeting sambil tiduran di kasur, tapi diharapkan semua departemen bisa kompatibel dengan style mereka yang "anti-mainstream" ini. Kalau tidak, siap-siap saja dibilang gak compatible dengan generasi muda.

    Dan soal durable saat overtime? 

Ini lebih lucu lagi. Durable itu kan artinya tahan lama, kuat. Jadi maksudnya, mereka mau overtime tapi badannya gak remuk redam? Ini kan mustahil! Overtime itu ya capek, mata panda, punggung encok. 

    Tapi Gen Z punya ekspektasi lain. Mereka ingin tetap fresh dan produktif meskipun kerja sampai subuh, seolah tubuh mereka terbuat dari vibranium. Padahal, pas clock out, muka mereka udah mirip zombie kelaparan. Ini bukan durable lagi, tapi lebih ke delusional.

    Yang paling bikin penasaran, offering matrix. Ini apa lagi? 

Matriks penawaran? Apakah ini semacam daftar harga jasa mereka yang bisa dinegosiasi? Atau checklist fitur-fitur yang mereka tawarkan dalam sebuah proyek? Sampai sekarang, ini masih jadi misteri. Setiap kali mereka menyebut offering matrix, rasanya kayak lagi dengerin ramalan cuaca dari time traveler.


Clock Out: Momen Sakral yang Penuh Drama


Dan akhirnya, clock out

Ini bukan sekadar pulang kerja. Bagi Gen Z, clock out adalah momen sakral, batas antara dunia nyata dan dunia mereka yang penuh TikTok. Jangan sekali-kali mengganggu mereka setelah clock out. Mereka bisa berubah menjadi mode "hibernasi" instan. Email tidak akan dibalas, telepon tidak akan diangkat. Bahkan kalau ada gempa bumi pun, mereka akan bilang, "Maaf, sudah clock out, bukan tanggung jawab saya."

    Ini bukan sekadar aturan jam kerja, tapi sudah menjadi filosofi hidup. 

    Clock out adalah deklarasi kemerdekaan dari segala beban dunia kerja, pengingat bahwa hidup itu bukan cuma tentang deadline dan KPI. Jadi, kalau sudah lewat jam clock out, jangan harap bisa dapat balasan cepat. Mereka sudah sibuk dengan dunia mereka yang lain: scrolling media sosial, mabar game, atau binge-watching drama Korea.

Sebuah Evolusi Bahasa yang Tak Terhindarkan (dan Bikin Ngakak)


    Pada akhirnya, "Bahasa Korporat" ala Gen Z ini adalah evolusi. Sebuah cerminan dari bagaimana generasi ini melihat dunia kerja: santai tapi ingin efektif, kritis tapi pakai bahasa halus, dan ingin segalanya serba instan tapi tetap durable. Mungkin kita, para generasi sebelumnya, harus sedikit lebih adaptif (ini juga bahasa korporat, lho!).

    Jadi, daripada pusing tujuh keliling, mari kita nikmati saja drama komedi ini. Setidaknya, ada hiburan baru di kantor setiap hari. Siapa tahu, suatu hari nanti, istilah-istilah ini masuk KBBI dan jadi bahasa baku. Kalau itu terjadi, jangan lupa ya, artikel ini adalah source utamanya! 😉

    Gimana, siap menghadapi "Bahasa Korporat" ala Gen Z besok pagi? Atau justru malah jadi ikutan pakai? Coba elaborate di kolom komentar!

Komentar

Postingan Populer