KECREKAN BAHANA

Crekk..crek… 

Semangat ‘45  Bahana memukul kecrekan tutup botol soda.
“Aku yang dulu, bukanlah yang sekarang.. dulu disayang, sekarang ku ditendang.. dulu.. dulu.. duluku menderita, sekarang aku bahagiaa…”


Cita-citaku menjadi orang kaya…dulu ku susah sekarang Alhamdulillah…
bersyukurlah pada Yang Maha Kuasa.. memberi  jalan untukku semuaaa..”

Bzzt.. pluk! 
Selembar uang dua ribuan lecek dilempar dari jendela mobil Camry mewah.

“Makasih oom…”
Nyaring suara Bahana di tengah terik matahari.   

Ia membuka topinya,  sshhh… angin yang bertiup mengeringkan segera keningnya yang sudah bercucuran peluh. Ah, sejuk.. Ia berbalik dan duduk di trotoar. 
“Duh.. kalau konser di jalan kayak gini terus, kapan manggung bareng Coboy Junior ya.. hihi..” Bahana mesem-mesem sendiri.
“Dapet berapa, Na?” Dida menghampiri dengan ukulelenya. 
“Hmm… hitung yuk! Kita sembunyi di bawah jembatan penyeberangan itu dulu, biar ga keliatan bang Tamrin, preman baru itu. Kemaren uangku diambilnya setengah.”
“Oke.”
Ada tiga puluh lembaran seribuan, enam lembar dua ribuan dan banyak sekali uang logam. Aah.. cukup sudah hari ini, batinnya.
“Mau kemana sekarang, Na? Nyambung lagi, atau..”
“Aku pulang dulu yah, ditunggu ibu menu. Hari ini aku janji mau bayar SPP Bian." Bahana membagi-bagi uangnya. 

"Nah, ini buat bayar utang beras ibu di warung Mpok Eti. Oya, ini uang buat mushola sedikit.” Bahana menyisihkan beberapa lembar ribuan.
Tiba-tiba, ada bayangan gelap diatas kepala mereka. Serempak Bahana dan Dida mendongak. 

“Woi.. Bahana! Dida! Jangan lupa jatah gue…” Tamrin menyeringai, menatap kejam.
“Sori, bang.. aku bayar uang sekolah Bian dulu, ya, ama beras ibu. Plis deh, besok uangnya aku kasih ke abang semua.” Bahana mengiba.
“Enak aja, lo… sini, gue minta dikit kalo gitu.”
Diambilnya lipatan bungkus permen keduanya. Dihitung, lalu mengambil sebagian uang seribuan. Hhh… Dida buru-buru berlalu setelah kantongnya dikembalikan.
“Ingat, ya Na, lu janji ama gue. Besok, kalo lu lewat gak setor, awas… “
“ Iya, bang… “ Bahana berlari masuk gang. Nah…. Itu ibu.
“Bu, ini uangnya. Maaf ya bu, hari ini bang Tamrin mencegat di gang. Aku ngga bisa menghindar.” Diciumnya tangan Ibu dengan takzim. Terasa kesat dan kasar. Ibu Bahana adalah seorang buruh cuci. 
Mata ibu berkaca-kaca seketika. Sesak dada Bahana.

“Aaah.. ibu, ingin kuhapus dukamu. Tapi..” lirih batinnya. Keinginan untuk menolong ibu semakin membuncah.
“Terimakasih, nak,” diusapnya kening Bahana. “Uang ini sangat berarti buat kita." 

Ibu diam sejenak, lalu, "Hari ini ibu diberhentikan bu Andrini. Ada perhiasan bu Andrini yang hilang. Setelah digeledah, perhiasan itu ada di ruang cuci." bibir ibu bergetar.

"Bu Andrini tidak menuduh ibu. Tapi kata beliau, ibu istirahat saja dulu.”
 “Oh, ya sudah ibu, kan Bahana masih bisa ngamen. Aku mau sekolah dulu ya bu, takut telat.”
Bahana merapikan diri, mengambil tas dan berangkat.
Ia semangat sekolah. Biar bisa bantu ibu. Kata bang Togar, pemilik metromini, ia bisa kerja di bengkel kalau sudah lulus. 
Di mushola ia mampir, memasukkan dua lembar ribuan ke dalam kotak amal. 

“Tuhan, terimakasih, hari ini Bahana dapat rejeki. Mudah-mudahan besok bisa masukin uang yang banyak, ya”. 

Di tangga, ia memakai sepatunya kembali.

Tiba-tiba… brug! 

Seseorang terjatuh di anak tangga. Buru-buru Bahana menghampiri. Oh, seorang bapak tua. Nafasnya tersengal. Terbatuk keras.

“Pak.. Bapak sakit apa? Bapak mau minum?” Refleks Bahana mengeluarkan botol air mineral sambil memegangi kepala bapak itu. Keringat membasahi bajunya.

“Uhuk..uhuk..Bapak cuma capek..sesak nafas, nak..uhuk..ngiik” Tangannya mencengkeram kerah baju Bahana.

“Bapak rumahnya dimana? Mari saya antarkan.” Ia menawarkan. Bahana tak menghiraukan lagi ia akan terlambat ke sekolah.

“Bapak ngga punya rumah..uhuuk.. dua hari yang lalu penertiban di kolong jembatan. Keluarga bapak di Kuningan..uhuk.. uhuk..uhuk..” Semakin keras batuknya.

Bingung, Bahana menawarkan diri. “Bapak ke rumah saya saja ya. Istirahat dulu. Rumah saya dekat sini, kok. Insya Allah saya ada uang sedikit, nanti bapak bisa pakai naik bis.”

“Nanti.. uhukk ..ngiik.. merepotkan. Sudah, saya istirahat sebentar ..ngiik..”

Bahana menggeleng sambil menggigit bibirnya. Duh, mau menolong aja ngotot.

“Ya, sudah pak. Ini, saya ada uang sedikit. Bapak pakai saja dulu.” Dikeluarkannya uang SPP Bian. Biarlah, besok toh ada rejeki lagi.

“Terimakasih..uhuk..ngiik..nak.."

Terbata-bata ia meneruskan. "Semoga.. ngiik.. diganti Yang Kuasa,” Bapak itu berusaha duduk. Bahana tersenyum, kembali memakai sepatunya.

"Prok! Prok! Prok! "

Suara tepuk tangan terdengar dari sudut mushola. Ada kilatan lampu blits, ada kamera, dan ada bang Tamrin beserta gerombolan punk

Ia tersenyum. Wajahnya yang sangar kali ini sangat ramah. Bahana melongo. Bapak tua ikut tersenyum lebar!

Bang Tamrin menghampiri. “Selamat, Bahana! Kamu memang pantas untuk dijadikan contoh. “

Bahana terduduk kembali. Ia tidak siap. “Apa.. apa..” terbata-bata ia bertanya.

“Maaf  kalau mengagetkanmu, Bahana. Sebenarnya kami dari crew Miracle TV. Kami sedang membuat liputan khusus. Judul acaranya Anak-anak Hebat Indonesia.”

"Beberapa bulan ini, kami berpindah-pindah di beberapa pemukiman. Oh.. Nama saya Tommy.” 

Bang Tamrin ..eh Tommy, menggenggam erat tangan Bahana.

“Ya, untuk keberanianmu, semangat juangmu, semua terekam di kamera tersembunyi ini.”

Ia menunjuk ke kancing kemeja. Bahana mencubit tangannya sendiri. Sakit. Jadi ia tidak bermimpi.

“Terimakasih Bahana, kamu salah satu sumber inspirasi anak Indonesia. Nah, kalau kamu mau, besok kamu ikut saya ke studio. Salah satu awak TV sudah meminta izin pada  Kepala Sekolahmu. Kamu berhak mendapatkan beasiswa Miracle TV.”

Bahana lemas. Dan.. itu, ibu dan adik-adiknya, Bian dan Bani! Mereka juga terheran-heran menghampiri, diiringi pak RT!

 “Bahana, ini juga ada sedikit rejeki dari sponsor minuman ringan. Ibumu akan dibuatkan warung sembako, agar.. bla..bla..bla..”

Bahana tak bisa mendengar lagi. Kepalanya pusing. Tapi bukan pusing karena sakit, ia bahagia. Dipeluknya ibu erat-erat.

“Terimakasih, Tuhan.. Kau sudah mendengar doaku..” Bahana menunduk. Ia tersenyum.

Bahana menggumam lagu yang ia nyanyikan selalu… “Sekarang aku bahagiaa…”

Tidak ada komentar

Posting Komentar

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)