STOIKISME DAN OBAT DARI GEJALA KE "JAK-SEL" AN


    "Apakah kamu seorang stoik?" tanyaku pada seorang sahabat.

    "Well... bisa dibilang begitu, karena last 5 years aku sudah menjalani hidup mengacu ke situ," katanya lirih. "Dan sepertinya aku senang begini." Ia mengerling pada sudut langit-langit kafe, mengembuskan asap rokoknya. 

    Pertemuan sore itu dengan seorang sahabat seniman (atau boleh disebut seniwati karena ia perempuan)  berakhir dengan bertambah satu kosa kata yang bermain di labirin otakku. Tentang hidup, falsafah, seni dan stoikisme!

    Nah daripada aku "berusaha ngerti sendirian", kita bahas bareng yuk apa itu stoikisme.

Makna kata stoikisme 

    Sebelum ngobrol lebih jauh, nih perlu aku tekankan, stoikisme itu bukan sejenis aliran kepercayaan ya, jadi gak ada hubungannya sama agama. Ini tuh kayak Zen di Jepang atau Lagom di Skandinavia, dan Frilutsiv di Norway.

Aku udah pernah bahas Lagom itu di tulisan ini.
Secara umum, stoikisme adalah satu filsafat kuno yang bersifat praktis. Prinsip utama Stoa kuno adalah keyakinan bahwa kita tidak bereaksi terhadap peristiwa. Kita bereaksi terhadap penilaian kita tentang mereka, dan penilaian tersebut bergantung pada diri kita sendiri.

    Hmm.... sebenernya sih tidak rumit. Tapi jujurly, di saat kita terkepung dunia digital, menjalankan falsafah hidup stoikisme ini tak mudah. Kenapa? Karena falsafah ini 
menyarankan untuk kita hidup "sederhana" ala kita.

    Jadi, kita tidak perlu khawatir tentang hal-hal di luar kendali kita karena segala sesuatu dalam hidup dapat dibagi menjadi dua kategori :
  • Hal-hal yang ada dalam kendali kita dan terserah pada diri kita dan 
  • hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. 
Duh, ini tuh agak skeptis tidak sih? Terus kenapa dibahas lagi, padahal udah pernah ditulis?


    Sekilas refreshStoik berasal dari bahasa Yunani stōïkos, yang berarti "dari stoa [serambi, atau beranda]".

    Jadi pada jaman itu, seorang filsuf bernama Zeno mengajar murid-muridnya dengan cara bertandang ke sebuah rumah, kemudian mereka akan duduk-duduk ngobrol di teras atau beranda rumahnya. Nah semua orang yang kebetulan lewat, boleh mampir dan ikutan diskusi di situ! Menarik ya?

    Segala sesuatu di dalam perbincangan itu, tak boleh serta merta diterima, atau malah mempengaruhi secara langsung hidup seseorang. Jadi seolah "cukup sampai situ aja" atau  "cukup sampai di teras rumahmu saja". 

Itu sebabnya kemudian filosofi ini bernama Filosofi Teras.

Stoikisme dan Keuntungan Menjalaninya Bagi Milenial

    Tokoh etika terkenal dari Amerika pernah membahas agar manusia menerapkannya secara ekstrim dalam salah satu karyanya berjudul Radical Monotheism.
Niebuhr menekankan agar manusia tidak secara dikotomis memisahkan unsur-unsur alam secara bertentangan, yang kemudian hanya akan melahirkan permusuhan antar manusia dan bahkan ke diri sendiri.

Eh gimana?

    Secara harfiah, kita saat ini berhadapan terus menerus dengan media sosial, ya gak. Informasi deras mengalir, filter untuk menonton dan membacanya kadang minim sekali. 

    Menguntungkan di satu sisi, jelas. Lajunya informasi membuat langkah kita bebas maju bergerak bersama peradaban. Tapi, di sisi lain.... oh, no! 

Gini, buun... 
dulu aku beranggapan media sosial adalah sebagai ajang silaturahmi, bercanda ringan dan pelarian dari kebetean.

Lhaaa mana ketehe ketika media sosial bermunculan dan menjadi sesuatu yang  impactful  dalam hidupku!

Ketika video-video semakin pendek, dengan durasi 15 hingga 60 detik, deras menghadang mata, awalnya aku excited. Yang tadinya aku tak tahu tentang "isi rumah sultan" mendadak jadi tahu. 

    Yang tadinya tak tahu kehidupan glamor selebriti, sekarang semua terpampang nyata. Banyak sekali konten yang bermanfaat - atau malah membuka mata sekaligus tentang semua yang tadinya tabu. 

    Seorang content creator terkenal, bisa dengan mudahnya makan mie instan dengan topping jamur langka termihil di dunia, masih dipakein lapisan emas tipis dan hati angsa dari benua Eropa. 

Contoh lainnya?

Beberapa content creator cerita kesuksesan mereka, mendapat uang 1 miliar pertama di usia belasan tahun, lalu membagikan uang yang mereka miliki seolah tak berseri. 

Pedih gak? Pedih gak? Ya pedihlaaaah masa enggaaaa! 

Jiwa miss queen meronta bertanya, "Ada apa dengan hidupku? Mengapa  aku gak bisa seperti dia?" 

"Kenapa gajiku hanya dua digit dengan THR yang abis pulang kampung naik bus ludes tak bersisa, sementara yang di sana, masih bisa bawa ART-nya jalan jalan keliling Eropa?"

sampe ke.... 

"Kenapa logatku logat kampung sebelah, bukan logat Jak Sel yang rada Ind-glish itu?"

    Akhirnya kita akan mempertanyakan tentang semua itu. Kita lalu mencoba jalur orang-orang "sukses sugih terkenal" ini. Copy paste kalau perlu. Tapiii lantas tidak berhasil. 

    Kita pun mulai stres, mempertanyakan kegagalan, dan at the end, kita terjebak di dalam sebuah lomba lari yang sebenernya tak pernah ingin kita ikuti. Tapi kan mau gak mau kita harus lari!

    Di sini lah kontrol diri itu perlu. Karena jika tidak, kita akan menjadi sangat iri dengan kesuksesan orang lain - terus uring-uringan dan berubah jadi dengki. 

Pada beberapa kasus, banyak yang akhirnya maksain beli barang yang gak diperlukan, demi mengejar komen di media sosial ini. Lalu mereka kehabisan uang, dan akhirnya terdesak meminjam di pinjaman online atau terjebak dalam money game, biar cepat kaya dan sukses.


Hidup Bukan Sekedar "Agar dilihat orang dan diakui orang lain"

Hmmm.. aku jadi merenung pertemuanku dengan sahabatku tadi di awal cerita.

    Kami berdiskusi panjang lebar, tentang pameran lukisan dan karya tanah liat yang sedang ia gelar. Pamerannya menurutku sih, lumayan sukses. Diadakan di tengah kota Jakarta, dengan pengunjung yang tak pernah sepi. Sesekali kudengar decak kagum dari mereka. 
    
    Tapi, Dea (sebut aja gitu ya, daripada Mawar) sahabatku itu, seolah tak peduli.

    Ia malah asyik ngobrol dengan teman-temannya yang datang ke pameran, klepas klepus di pojokan, makan somay sambil ngopi "starling"  ama abang-abang penjual kopi keliling. 

    Pameran itu buatnya adalah "Pembuktian Terhadap Diri Sendiri."  Dea tak peduli jika pameran itu berhasil atau tidak. Yang buat pameran itu malah teman-teman kami juga, yang sudah mempromosikan karya Dea di media sosial. 

    Ya tentu saja, jika karya Dea terjual (yang jika kulihat sebagian sudah ada tanda "SOLD") maka mereka akan berbagi keuntungannya. 

    Dea merasa tak terganggu juga dengan penilaian orang lain. Dea tidak peduli jika karyanya dianggap "sampah" oleh orang lain.  "Lo suka alhamdulillah, gak suka juga gak apa-apa kok," dia tertawa ceria. Menurutnya, itu tak mengganggu ia untuk terus berkarya.

"Kebahagiaan buat gue, bukan dari seberapa tinggi sebuah pencapaian, namun dari seberapa rasional sebuah harapan. Kuncinya adalah elo berpijak aja sama realitas, dan gak usah kegedean ekspektasi!" tutupnya manis.

Wiiih... Deaaaa....

    Padahal 10 tahun silam Dea  yang kukenal itu ambisius loh. Dia tuh orang yang kalo liat temen sebangkunya mendapat nilai lebih tinggi darinya, akan frustrasi. Ia akan mengejar nilai tersebut dengan memacu dirinya terus dan terus. 

    Dea akan ikut les ini itu, mendekati guru, dan serius serta tekun belajar.  Dea jarang ikut ngerujak bareng atau jajan bakso saat Dewi ultah misalnya. Waktunya habis untuk belajar - belajar dan belajar. 

    Ya emang sih, dia yang akhirnya terpilih ikutan olimpiade ini itu, dan terpilih masuk sekolah tinggi kebanggaan negeri ini. So, ngeliat dia bukan jadi ASN tapi malah jadi seniman itu sesuatu yang wooow gitu.

Dan itu terjawab di obrolan kami sore itu.

    "Gue ada di titik dimana gue kesepian, Neng. Lo kebayang gak, gue udah berjuang mati-matian, eh yang diangkat malah keponakan Bapak B. Capedeeee... sakiiit rasanya!" Dea menerawang, di balik kepulan asap rokoknya - yang buatku ganggu banget, karena Dea merokok tanpa henti. Untung rokoknya bukan kelobot yang baunya amit-amit kayak mbah dukun hi hi hi... 

     "Gue juga ditinggal ama temen-temen di kantor gue, karena dianggap gak asyik lagi ketika gue protes. Mereka kan juga cari perhatian untuk dapat jabatan. Gue akhirnya suffering. Mempertanyakan ketidak-adilan ini. Akhirnya ... uang gaji gue sebagian habis di psikiater deh.."

    Dea mulai berpikir, jangan-jangan yang salah bukan lingkungannya, tapi justru di dirinya sendiri. Jangan-jangan, Dea yang ini tuh gak sehebat yang ia pikirkan! Jangan-jangan ini dan jangan jangan itu. Dea mulai merasa, ia kan hanya jadi poros di dunia mungilnya?  Ternyataaaa ia bukan siapa siapa di dunia yang besar ini!

    Dea merasa sakit tapi sekaligus merasa lega. Ia mulai fokus pada pencapaian-pencapaian kecil. Ia bahagia ketika bisa mewujudkan keinginannya melukis, membuat keramik, gak cuman belajaaaar aja! Kerja sambil cari muka sama bos saja! 

    Dea cerita, ia malah baru merasakan bahagia, ketika bisa ngopi duduk tenang - di warung pinggir jalan - ngobrol ngalor ngidul dengan teman, tanpa harapan, tanpa ekspektasi harus mengejar karier!

    Setelah itu, Dea pun mendalami beberapa konsep hidup seperti Zen,  Lagom dan lain-lain itu, dan merasa cucok dengan menjalani stoikisme. Ia akhirnya merasa kebahagiaan itu adalah proses saat pencapaian itu sendiri. 

    Stoikisme tak membunuh impian Dea, malah membantunya fokus pada pencapaian kebahagiaan yang ia inginkan. Ia tak lagi terdistraksi pada komen baik positif maupun negatif orang lain. Dea keluar dari BUMN tempatnya bekerja dan menjalani apa yang ia suka, tanpa tekanan.  

    Aku tertawa kecil. Tapi yaaa dasar Dea, "bahagia jadi diri sendiri" nya itu aja, adalah karya yang buatku pun besaaar sekali, hingga layak pameran! 

Wah wah... 
semoga aja aku ngga malah iri dengan keberhasilan Dea, dan harus menjalani stoikisme juga. Nah, menurut kalian bagaimana? 

Semoga saja kita tidak terjebak dengan berlari di tempat, mengejar khayalan! Salam!

17 komentar

  1. Aku baru paham setelah nyebut filosofi teras, buku yang kini ramai diperbincangkan memang isinya daging banget. Pengin baca juga buku tentang psikologi, apalagi ini sering banget terjadi. Terima kasih sharingnya!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku jadi ingat filosofi teras terinpirasi dari sini mbak Anisa makasiiih

      Hapus
  2. Aku udah kelar baca filosofi teras. Bukunya emang bagus dan punya makna mendalam. Btw molly sih gak perlu kejaksel2an.. tapi palemlish palembang english. Secara dari nama aja udah acak2 gitu kan.. :V

    BalasHapus
  3. Kak Tanti is BACK!
    Selalu bawa tema-tema tulisan seru yang bisa dikaji.

    Aku terasuk nih, kka Tanti.. berada di titik yang insecure tinggi dengan segala pressure yang jangan-jangan, cuma aku yang menciptakan. Jangan-jangan, cuma aku yang merasakan. Semua bisa haha-hihi, aku gak tenang sendiri.

    Betul sekali.
    Pilihan yang aku pilih seperti temen kak Tanti, Dea (aka Mawar) yang lebih memilih berjiwa bebas dan bisa menikmati hidup.

    Toh pada akhirnya kita juga yang akan bertanggung jawab atas segala kehidupan kita. Maka, pilih jalan yang menyenangkan, yang apa adanya dan jadi diri sendiri.
    Di titik ini, aku merasa BAHAGIA.

    Alhamdulillah~

    BalasHapus
    Balasan
    1. holaaaa aku suka deh komentarmu ini Lendy makasiiiih jadi semangat nulis "ginian" lagi

      Hapus
  4. Kalau baca tulisannya ini memang aku jadi teringat salah satu buku Filosofi Teras tentang semua yg bisa kita kendalikan adalah apa yg ada dalam kendali kita, bukan di luar kendali kita sehingga dengan begitu mendapatkan kenyamanan dan ketenangan lebih yaa Mbak.. ~Ulfah Aulia

    BalasHapus
    Balasan
    1. nah iya Ulfa, tooossss aku baru sadar stoikisme = filosofi teras

      Hapus
  5. Istilah stoik ini sudah lama aku dengar tapi blm ada kucari tahu. Tapi terimakasih untuk tuliaannya mba, jadi tahu dengan jelas deh

    BalasHapus
    Balasan
    1. kebalikan dari aku loh, aku justru tersdar ada stoikisme dari sini

      Hapus
  6. Wah, aku sebenarnya sudah lama dengar istilah stoikisme ini
    Hanya baru benar-benar paham artinya setelah membaca artikel ini
    Salut sama Dea, teman mbak Tanti
    Orang yang berjiwa bebas seperti itu pasti akan lebih mudah merasakan kebahagiaan ya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. salut ya, sama mbak Dee aku pun salut sama dia

      Hapus
  7. dunia medsos sekarang memang benar-benar bikin kita insecure ya, mbak dengan diri sendiri. apalagi nih soal pendapatan dan pamer kekayaan itu. untung kemarin itu ada kasus afiliator jadinya banyak yang matanya kebuka kalau jadi kaya itu nggak bisa instan. heu

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau mikirin rumput tetangga emang ga ada habisnya, rupa rupa warnanya!

      Hapus
  8. Setuju banget sih, sekarang lebih mengurangi setiap ap yang dikomentarin orang dan lebih fokus ke bahagiaan sndiri dan upgrade diri untuk menjadi versi terbaik diri kita..

    BalasHapus
    Balasan
    1. naaah syukurlah kalau udah mulai - aku baru berpikir ulang

      Hapus
  9. Duh Mak Neng, bagus banget tulisannya. Membuka mata, remider pisan. Aku berkaca-kaca deh bacanya. Ada banyak hal yang nyentil aku. Fyuh... semoga deh, aku gak berjalan di tempat dalam ngejar impian. Huhuhu...

    BalasHapus

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)