Silent Killer of Authenticity, Ledakan di SMAN 72 dan Jeritan Hati Anak Korban Bullying



Kita hidup di zaman yang gila, di mana validasi seolah lebih penting dari warisan. Terjebak dalam jebakan ingin disukai semua orang—the silent killer of authenticity

Padahal, coba tarik napas sejenak dan tatap wajah yang muncul di pikiranmu. Apa sih yang membuat orang lain terkesan? 

Faktanya, kamu bisa menerima dengan lapang dada bahwa tidak semua orang akan suka sama kita, karena kita sendiri juga tidak akan bisa senang dengan semua orang. Kenapa harus menghabiskan energi untuk mengejar validasi yang bahkan kita sendiri tidak memberikannya? 

Saatnya mengubah sudut pandang. Kekuatan sejati bukan terletak pada seberapa banyak kita disukai, melainkan pada kebebasan untuk memilih siapa yang layak mendapatkan perhatian dan energi kita. 

Melepaskan beban untuk menyenangkan semua orang adalah langkah pertama menuju hidup yang otentik—dan ironisnya, itu justru membuat aku - kamu - kita lebih menarik.


Acceptance vs Bullying berujung Tragedi

Tragedi yang mengguncang SMAN 72 Jakarta pada Jumat, 7 November 2025, bukan hanya menyisakan kerusakan fisik dan puluhan korban luka, tetapi juga membuka kotak pandora yang lebih gelap: kesehatan mental anak di lingkungan sekolah. 


Dugaan kuat mengarah pada motif dendam dari terduga pelaku yang disebut-sebut merupakan korban perundungan (bullying) bertahun-tahun. Peristiwa ini menjadi lonceng peringatan yang keras, bahwa tekanan psikologis dan perundungan yang dibiarkan dapat memicu tindakan ekstrem yang merusak diri sendiri dan lingkungan.





Dampak Bullying: Ketika Sekolah Menjadi Arena Perang Batin


Perundungan, baik itu secara fisik, verbal, sosial, atau daring (cyberbullying), adalah luka yang tak terlihat. 

Bagi remaja yang sedang dalam masa pencarian jati diri, tekanan terus-menerus ini bisa menghancurkan rasa percaya diri, menimbulkan kecemasan kronis, depresi, hingga munculnya ide-ide destruktif.

Fakta Kunci: Jebakan Mencari Validasi yang Menghancurkan


Inti dari kehancuran mental yang disebabkan oleh bullying seringkali berakar pada satu hal: kegagalan menerima realitas bahwa kita tidak bisa menyenangkan semua orang.

Korban bullying rentan terjebak dalam upaya putus asa untuk disukai atau diterima oleh para pelaku. Mereka membuang energi berharga hanya untuk mengejar penerimaan yang sia-sia, menumpuk pertanyaan seperti, "Apa salahku? Kenapa mereka membenciku?"

Saat usaha "menjadi orang yang disukai" gagal, kegagalan itu terasa seperti penolakan total terhadap diri sendiri. 

Energi negatif dan amarah pun menumpuk, dan ini berbahaya. Kejadian ekstrem di SMAN 72 adalah manifestasi tragis dari kondisi ini: ketika seorang anak merasa dunianya hancur karena pendapat orang lain, ia bisa memicu tindakan destruktif terhadap diri sendiri maupun lingkungannya.


Back to gambar pertama di atas, ada :

Pesan Krusial: 

Kekuatan mental sejati anak-anak kita dimulai ketika mereka bisa menerima fakta fundamental: "Kamu bisa menerima fakta bahwa enggak semua orang akan suka sama kita, karena kita juga enggak bakal senang sama semua orang." Penerimaan ini adalah tameng anti-bullying terbaik.


Pentingnya Intervensi Dini dan Peran Terapis Energetik

Insiden ini menuntut kita untuk tidak lagi memandang remeh isu kesehatan mental di kalangan pelajar. Lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat harus menjadi barisan pertahanan pertama yang mengajarkan nilai diri yang independen dari validasi eksternal.

1. Peran Sekolah: Menciptakan Ruang Aman & Edukasi Mental


Sekolah harus memiliki mekanisme pelaporan bullying yang efektif, rahasia, dan bebas dari stigma. 

Semua guru dan staf wajib dilatih tentang kesehatan mental, untuk mengenali tanda-tanda awal depresi, kecemasan, atau trauma pada siswa, baik pada korban maupun pelaku bullying. Fokus utama adalah menciptakan budaya di mana siswa merasa aman untuk menjadi rentan dan mencari bantuan, sekaligus mengajarkan literasi mental tentang penerimaan diri.

2. Keluarga: Jembatan Komunikasi & Validasi Internal

Orang tua perlu membangun komunikasi yang hangat dan non-judgmental, serta menanamkan sejak dini bahwa nilai seorang anak tidak ditentukan oleh perlakuan teman-temannya. Alih-alih menyalahkan anak, orang tua perlu belajar menjadi pendengar aktif yang memvalidasi emosi anak dan mendukungnya untuk membangun harga diri dari dalam.

Sampai di kalimat ini, aku terdiam....

Bagaimana jika anak dalam posisi tidak memiliki orangtua? Mau mengadu kepada siapa? Yaa Allaah... 


3. Solusi Holistik: Pendekatan Terapis Energetik

Dalam penanganan trauma dan tekanan psikologis yang intens, beberapa orang mulai mencari pendekatan holistik, termasuk dengan melibatkan bantuan terapis energetik.

Terapis energetik menawarkan perspektif yang berbeda dalam penyembuhan trauma. Mereka berfokus pada keseimbangan energi dalam tubuh (bioenergi) yang dipercaya memengaruhi kondisi fisik dan mental. Terapi ini bertujuan untuk membantu individu:
  • Melepaskan Emosi Terperangkap: Membantu memproses dan melepaskan emosi negatif yang tertahan—seperti rasa marah, sedih, dan rasa bersalah—yang dipicu oleh bullying dan kegagalan mencari penerimaan.=
  • Membangun Kembali Keseimbangan Diri: Mendukung pemulihan energi pasca-trauma, agar korban dapat kembali merasa tenang, kuat, dan damai, terlepas dari pandangan negatif orang lain.
Pendekatan ini dapat menjadi opsi pendamping bagi terapi konvensional, memberikan dukungan pada aspek energi dan spiritual dalam proses penyembuhan. Jika tertarik untuk mendalami bagaimana upaya penanganan kesehatan mental dapat dilakukan dengan pendekatan holistik, termasuk melalui terapis energetik.

Tragedi SMAN 72 adalah momen kritis untuk kita semua. Mari jadikan insiden ini sebagai titik balik untuk serius melindungi kesehatan mental anak-anak kita dengan mengajarkan mereka bahwa disukai semua orang bukanlah prasyarat untuk hidup bahagia.


NOTE
Semua ilustrasi di sini  milik Wantja - Doodle yang mengkhususkan diri pada Mental Health

Komentar

Postingan Populer