BENARKAH PERDA BERMASALAH?

Everybody want it. Good and clean government.

Tujuan Otonomi Daerah dalam Perda memang mewujudkan Good and Clean Goverment. Begitu pula, Otonomi daerah yang bergulir paska reformasi memaksa setiap daerah mengakomodir masukan masyarakat di daerah tersebut. 


Akibatnya, muncul Peraturan Daerah atau Perda yang hanya cocok berlaku di wilayahnya. Sayang, tak semua Perda sejalan dengan Peraturan Pemerintah. Sebagian Perda tersebut cenderung diskriminatif dan tidak sesuai dengan Dasar Negara Pancasila. Beberapa bahkan terkesan mengada-ada (contoh : peraturan yang mengharuskan makan dengan tangan kanan, menghalalkan atau mengharamkan minuman keras).

Begitu yang kutangkap sejak awal diskusi FAA PPMI BERSAMA BINCANG MEDIA DAN BLOGGER. FAA PPMI atau Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia ini memang beberapa kali telah membuka bincang-bincang atau diskusi terbuka. 

Kali ini, bertempat di Bumbu Desa Cikini, aku dan kawan-kawan Komunitas Emak Blogger menjadi tamu mereka. Narasumber yang hadir antara lain, Bapak Kepala Biro Hukum Kementrian Dalam Negeri Widodo Sigit Pudjianto, Robert Endi Jaweng (Komite Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah), Arteria Dahlan, Supratman Andi dan Gautama Adi Kusuma. 

ADA APA DENGAN PERDA?
Ya, ada apa dengan Perda?

Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo tahun lalu pernah menegaskan, semua peraturan yang dibuat Pemerintah Daerah tidak boleh bertentangan dengan ideologi dasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. 

Tjahjo Kumolo merasa perlu menegaskan hal ini, terkait dengan ditemukannya 3000 lebih Peraturan Daerah (Perda) yang diajukan daerah namun tidak sesuai, sehingga dikembalikan ke daerah yang mengajukan tersebut.
“Kami kembalikan, kami minta untuk direvisi, diklarifikasi, kalau tidak ya itu batal demi hukum,” 
Tjahyo Kumolo di Gedung Kemendagri, Rabu (22 Juli 2015 - dikutip dari republika.co.id.
Perda seharusnya menyesuaikan dengan kondisi kemajemukan Indonesia sebagai negara kesatuan, bukan mengakomodir kepentingan mayoritas maupun minoritas semata. 

Sejak November 2014 hingga Mei 2015, Mendagri Tjahjo Kumolo telah membatalkan 139 peraturan daerah. Perda-perda yang dibatalkan tersebut dianggap bertentangan dengan undang-undang atau prinsip negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu perda yang dibatalkan berkaitan dengan larangan ke luar rumah pada malam hari bagi wanita Aceh.

Sementara, hingga Mei 2016 telah dibatalkan sejumlah Perda pula. Secara general, ada 98 Perda yang sudah tidak di koridornya lagi. Bertentangan dengan PP dan menuntut tindakan segera dari Pemerintah.


SEHARUSNYA, PERDA SEJALAN DENGAN UUD 45, PANCASILA DAN PP

Pancasila sebagai Dasar Negara berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Kemudian sumber hukum tertinggi adalah UUD 1945. Setelah itu disusul dengan UU, Peraturan Presiden, Peraturan Menter baru Perda baik Propinsi maupun Kotamadya atau Kabupaten.
Dalam hukum tata Negara, semua peraturan yang di bawah tidak boleh bertentangan dengan sistem perundangan diatasnya. 
Artinya secara umum baik peraturan pemerintah pusat maupun peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 maupun UU. 
Jika peraturan tersebut dilanggar, maka akan batal demi hukum atau dapat digugat melalui Mahkamah Konstitusi.

Sebagai masyarakat awam,
aku tentu saja salah satu personal yang tak banyak mengerti tentang peraturan daerah yang tak sejalan dengan Pemerintah. Hidup di kota besar, dengan keberagaman yang menonjol, membuatku merasa hidup berjalan baik-baik saja. 

Namun, ternyata ada banyak sekali saudaraku di belahan pulau yang berbeda merasa diskriminatif. Perda yang dianggap diskriminatif itu antara lain yang melanggar hak perempuan.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menemukan ada 365 peraturan daerah di kabupaten, kota dan provinsi mendiskreditkan perempuan pada tahun 2013. 
 Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 282 perda yang ada di 100 kabupaten dan kota dan 28 provinsi.

Seperti disampaikan Wakil Ketua Komnas Perempuan, Desti Murdijana, dalam konferensi pers delegasi NGO dan perwakilan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

PERDA DAN OTONOMI DAERAH, DUA SISI MATA PISAU TAJAM
Sebagai negara demokratis, otonomi daerah diadakan oleh Pemerintah Indonesia dengan tujuan sebagai berikut:
  • Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.
  • Pengembangan kehidupan demokrasi.
  • Keadilan dan pemerataan.
  • Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
  • Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.
  • Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Sejak diberlakukannya UU terkait otonomi daerah, maka beberapa daerah diberi kewenangan untuk mengatur daerah masing-masing. 

Salah satu perda yang dibuat oleh beberapa daerah adalah perda syariah, yakni perda yang khusus mengatur sisi kehidupan masyarakat berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam.

Sayang, menjamurnya peraturan daerah (Perda) yang mengacu pada syariah tidak sesuai dengan semangat Pancasila.

Selain diskriinatif dan SARA masih banyak Perda-Perda yang bertentangan dengan Pancasila. Untuk itu pemerintah pusat harus bersikap tegas dengan membatalkan setiap Perda yang melanggar Pancasila. 

Buat penduduk Indonesia, Pancasila adalah ideologi terbuka. Maka masalah bangsa dijawab perspektif Pancasila melalui dialektika berpancasila. Maka, Perda harus merujuk pada Pancasila dan UUD 1945 serta tidak boleh ada Perda yang bertentangan dengan Pancasila.

KAITAN PEMBATALAN PERDA DAN GOOD AND CLEAN GOVERNMENT

Selayaknya, dengan Indonesia yang telah melalui berbagai sistem pemerintahan, rakyat berharap terciptanya suatu keadaan yang memberi rasa nyaman menyenangkan -  demokratis - adil dan berkesejahteraan berdasarkan Pancasila. 


Namun, kondisi yang kondusif semacam ini, perlu ada akuntabilitas, transparansi dan tersedianya akses yang sama pada informasi bagi masyarakat luas. 

Kondisi semacam ini mensyaratkan bagi siapa saja yang terlibat dalam pembuatan keputusan, baik itu pemerintah, sektor swasta maupun masyarakat, harus bertanggung jawab kepada publik serta kepada institusi stakeholders

Kebijakan otonomi daerah dapat dijadikan sebagai media transformasi perwujudan model pemerintahan yang menopang tumbuhnya kultur demokrasi di Indonesia.

Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan kewenangan pada daerah untuk melakukan pengelolaan dan memajukan masyarakat dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI. 

Namun, apa yang terjadi? Untuk sebagian daerah, ternyata belum tercipta tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. 

Birokrasi yang masih belum efesien, masih membutuhkan waktu yang lama, masih berbelit belit, ada dunsanakisme (ketika ada hubungan kekerabatan baru pelayanannya berkualitas), 

Pemda kadang tidak transparan di bidang keuangan, bahkan akuntabilitas masih banyak hambatan karena  mesin birokrasi yang tidak berjalan sesuai dengan relnya. Ujung-ujungnya tentu saja korupsi. Korupsi keuangan, kewenangan. 


HARAPAN PEMERINTAH UNTUK OTONOMI DAERAH
Prinsip pelayanan yang harus di berikan kepada rakyat atau masyarakat oleh birokrat adalah pelayanan yang bersifat adil, cepat , ramah, tepat dan tanpa diskriminasi serta tanpa pilih kasih. 

Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih dapat di katakan baik apabila sistem pelayanannya yang baik maka produk pelayanan itu akan berjalan sesuai dengan rel yang ada. 

Standar buruk atau baik tata kelola pelayanan yang baik dan bersih sangat di tentukan pemberian layanan publik yang lebih professional dan efektif, efisien, sederhana, transparan, tepat waktu, responsive dan adaptif, dan sekaligus dapat membangun kualitas individu dalam arti menigkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif masa depannya. 

Semoga, dengan diskusi ini, dengan digembar-gemborkannya melalui sosial media dan media mainstream, tujuan dari good governence tercapai.

Semoga.

4 komentar

  1. Jadi kita sebagai warga wajib menuntut pelayanan yang adil, cepat , ramah, tepat dan tanpa diskriminasi serta tanpa pilih kasih

    BalasHapus
  2. Halo Tanti Amelia,

    Tulisannya bagus! Untuk menambahkan saja, bahwa Catatan Komnas Perempuan tahun, sampai Agustus 2015, menemukan ada 389 Kebijakan Diskriminatif, sebagian besar langsung mendiskriminasi perempuan, (melalui kebijakan pengaturan busana, dan jam malam,) dan kelompok minoritas agama.

    Penyebutan yang tepat sebenarnya Kebijakan Diskriminatif karena tidak hanya peraturan daerah saja yang diskriminatif, tetapi juga peraturan di tingkat pusat, seperti SKB 3 Menteri.

    Anw, sekali lagi tulisannya bagus!


    Salam,

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)