Disclaimer : Tulisan ini terpilih sebagai salah satu 10 Nominasi BICMAC Award
Dunia baru saja berusaha pulih dari krisis global supply chain akibat pandemi Covid-19, ketika Krisis Ukraina menambah guncangan bagi sisi penawaran untuk bahan-bahan komoditas.
Maka Indonesia pun, yang belajar dari sejarah setelah krisis keuangan global, memahami bahwa kebijakan moneter dan kebijakan mikroprudensial tidak cukup dalam menjaga stabilitas makroekonomi.
Diperlukan kebijakan makroprudensial yang menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.
Hmm.. jangan sampai salah sangka ya, dikira ini bicara tentang asuransi! Bukan, bro en sist, ini adalah sebuah istilah kebijakan ekonomi makro!
Makroprudensial, Kebijakan Untuk Mencegah dan Mengurangi Risiko Sistemik
Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan Bank Indonesia yang ditetapkan dan dilaksanakan untuk :
😀 mencegah dan mengurangi risiko sistemik,
😀 mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas,
😀 meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), serta
😀 mendukung stabilitas moneter dan stabilitas sistem pembayaran.
Istilah makroprudensial menjadi sangat populer di sektor keuangan paska terjadinya krisis keuangan global.
Krisis keuangan tersebut ditengarai terjadi karena belum diterapkannya kebijakan makroprudensial yang efektif di Negara maju, yaitu kebijakan yang berkaitan dengan dinamika di sektor keuangan yang bersumber dari interaksi antara makro ekonomi dengan mikro ekonomi.
Di Indonesia sendiri, pendekatan makroprudensial sudah dijalankan sebagai bagian dari pemulihan ekonomi akibat krisis keuangan Asia tahun 1997/1998.
Pengalaman krisis tersebut sesungguhnya telah memberikan pelajaran yang berharga, sehingga pada saat krisis keuangan global 2007/2008 yang dipicu oleh kegagalan produk subprime mortgage di Amerika Serikat, Bank Indonesia dengan kebijakan mikroprudensial dan makroprudensial yang dimilikinya sudah lebih siap dengan berbagai langkah yang dapat menahan pemburukan kondisi ekonomi dan sistem keuangan di dalam negeri.
Dengan berlandaskan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, fungsi mikroprudensial yang terkait dengan kesehatan, kinerja, dan kelangsungan usaha individual bank dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2013, sementara Bank Indonesia diamanatkan untuk tetap menjalankan fungsi makroprudensial.
Bagaimana Cara Penerapan Kebijakan Makroprudensial di Indonesia?
Di Indonesia, istilah makroprudensial secara implisit telah digunakan sejak awal tahun 2000 sebagai respons atas krisis keuangan tahun 1997/1998, yang ditandai dengan penyusunan kerangka stabilitas sistem keuangan Indonesia dan pembentukan Biro Stabilitas Sistem Keuangan (BSSK) di Bank Indonesia.
Berdasarkan kerangka tersebut, Bank Indonesia berupaya menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia melalui dua pendekatan, yaitu mikroprudensial dan makroprudensial (BI, 2007).
Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal tahun 2000, Bank Indonesia telah memerhatikan aspek makroprudensial dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.
Peran Bank Indonesia di bidang makroprudensial tertuang dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tanggal 22 November 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sejalan dengan beralihnya fungsi pengaturan dan pengawasan bank (mikroprudensial) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kapan Kebijakan Makroprudensial Harus Diberlakukan?
Nah, ini pertanyaan penting!Secara sederhana kebijakan makroprudensial "SSK periode1" merupakan penerapan prinsip kehati-hatian pada sistem keuangan guna menjaga keseimbangan antara tujuan makroekonomi dan mikroekonomi.
Kebijakan makroprudensial lebih berorientasi pada sistem secara keseluruhan. Dengan demikian, fokus kebijakan makroprudensial tak hanya mencakup institusi keuangan, namun meliputi pula elemen sistem keuangan lainnya,seperti pasar keuangan, korporasi, rumah tangga, dan infrastruktur keuangan.
Ini disebabkan kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan dengan tujuan akhir meminimalkan terjadinya risiko sistemik.
· Risiko sistemik didefinisikan sebagai risiko yang dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik dan peningkatan ketidakpastian dalam sistem keuangan sehingga sistem keuangan tidak dapat berfungsi dengan baik dan mengganggu jalannya perekonomian.
· Risiko sistemik dapat terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga, atau terjadi secara perlahan-lahan tanpa disadari atau dideteksi oleh berbagai pihak sehingga kebijakan yang tepat dapat terlambat diterapkan.
· Efek negatif risiko sistemik pada perekonomian dapat dilihat dari peningkatan jumlah gangguan pada sistem pembayaran, aliran kredit, dan penurunan nilai aset.
Definisi umum risiko sistemik :
· Risiko sistemik didefinisikan sebagai risiko yang dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik dan peningkatan ketidakpastian dalam sistem keuangan sehingga sistem keuangan tidak dapat berfungsi dengan baik dan mengganggu jalannya perekonomian.
· Risiko sistemik dapat terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga, atau terjadi secara perlahan-lahan tanpa disadari atau dideteksi oleh berbagai pihak sehingga kebijakan yang tepat dapat terlambat diterapkan.
· Efek negatif risiko sistemik pada perekonomian dapat dilihat dari peningkatan jumlah gangguan pada sistem pembayaran, aliran kredit, dan penurunan nilai aset.
Tiga Kebijakan Makroprudensial
Merujuk pada beberapa definisi yang disampaikan oleh para pakar ekonom Indonesia, ada tiga kalimat kunci untuk menggambarkan kebijakan makroprudensial, yaitu :
1. Diterapkan dengan tujuan menjaga stabilitas sistem keuangan,
2. Diterapkan dengan berorientasi pada sistem keuangan secara keseluruhan (system-wide perspectives), dan
3. Diterapkan melalui upaya membatasi terbangunnya (build-up) risiko sistemik.
Secara sederhana kebijakan makroprudensial merupakan penerapan prinsip kehati-hatian pada sistem keuangan guna menjaga keseimbangan antara tujuan makroekonomi dan mikroekonomi.
Analogi Konsep Makroprudensial
Kebijakan makroprudensial itu tujuannya memang lebih kepada stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Sementara yang mikro itu per individu.
Analogi konsep makroprudensial diibaratkan
sebagai sebuah pohon dan hutan.
Mikroprudensial fokus pada kesehatan individu lembaga keuangan, sedangkan makroprudensial lebih berfokus pada upaya menjaga sistem keuangan secara keseluruhan, bukan hanya individu lembaga keuangan.
Ada 3 pilar kebijakan makroprudensial yaitu;
· intermediasi yang seimbang;
· ketahanan sistem keuangan; dan
· inklusi keuangan.
Jadi, dalam intermediasi bertujuan menjaga agar pertumbuhan kredit tidak eksesif dan memadai untuk pertumbuhan ekonomi.
Makna tiga pilar itu antara lain bahwa intermediasi yang seimbang itu bukan artinya pertumbuhannya tinggi, tetapi sesuai dengan kebutuhan.
Pada pilar kedua, adalah jika kebijakan makroprudensial ini bisa secara struktural menjaga agar sistem keuangan kuat menghadapi shock apabila terjadi goncangan pada bank yang runtuh. Atau bagaimana mencegah agar bank sistemik atau besar itu tidak collapse.
Sedangkan pada pilar ketiga, inklusi keuangan dapat mendorong sistem keuangan yang inklusif (semua mempunyai akses). Karena kalau tidak, akan mengakibatkan shadow banking.
Kapankah Penggunaan Kebijakan Makroprudensial Dibutuhkan?
Penggunaan kebijakan makroprudensial diperketat dan diperlonggar tergantung dari grafik data kredit. Kebijakan makroprudensial bersifat countercyclical untuk mengurangi over-optimisme dan over-pesimisme serta mengurangi materialisasi akibat contagion effect.
Pada saat boom, bank diwajibkan memupuk buffer untuk mengerem ekspansi yang berlebihan. Sedangkan pada saat bust, bank dapat menggunakan buffer untuk mengurangi kontraksi kredit.
Jika ekonomi dalam kondisi baik, pemberian kredit, direm dulu. Dengan modal dinaikkan, kredit diturunkan. Sebaliknya, pada saat ekonomi melemah, kredit diketatkan, dan modal dilonggarkan,
Selain itu, dibutuhkan 4 langkah strategi operasional kerangka kebijakan Makroprudensial, yaitu :
1. Identifikasi prioritas risiko sistemik
2. Pengawasan dan monitoring makroprudensial
3. Perumusan dan evaluasi kebijakan
4. Protokol manajemen krisis
Makroprudensial dan Dampak Suhu Global
Tak banyak yang menyadari, bahwa ada keterkaitan antara makroprudensial dengan isu kenaikan suhu bumi, yang dapat menyebabkan perubahan iklim.
Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim dapat menimbulkan risiko fisik dan risiko transisi yang berimplikasi pada stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan.
Contohnya :
· Saat ada gangguan fisik, ada gangguan produksi yaitu ketika ada banjir, gelombang tinggi, badai, dan kekeringan, yang akan berdampak pada inflasi.
Risiko transisi dari perubahan iklim memiliki biaya transisi yang cukup besar dalam bentuk hilangnya kesempatan investasi, hambatan ekspor, keharusan impor produk hijau, dan keterbatasan akses keuangan global, serta sudah mulai terjadi sekarang.
Contohnya adalah;
- investasi hijau beralih ke negara lain,
- akses keuangan global terbatas atau mahal, dan
- ekspor tidak kompetitif.
Jika Indonesia tidak beralih pada green investation, maka ekspor akan mengalami hambatan. Contohnya batu bara, sawit, dan sebagainya.
Ratifikasi Paris Agreement menyatakan semua negara berkomitmen untuk menurunkan karbon.
National Determined Contribution (NDC) Indonesia berkomitmen menurunkan karbon pada 2030 sebesar 41% dan pada 2060 mencapai carbon neutral.
Ada 3 pilar kerangka kebijakan makroprudensial hijau Bank Indonesia untuk menjadikan ekonomi berkelanjutan dengan sistem keuangan yang stabil, tumbuh, inklusif, dan hijau, yaitu;
Wah baru tau saya kalau tugas Bank BNI itu banyak juga ya...tak hanya mencetak dan mengedarkan mata uang namun memegang kendali juga bagi kondisi keuangan negara sebagai pengambil keputusan terbaik
BalasHapuseuuh Bank Indonesia loh bukan bank BNI hhiii...
Hapusiya ternyata Bank Indonesia itu tugasnya more ke politics ya
Ga nyangka ternyata ada hubungan ke dampak suhu global juga ya mba, Semoga semua kebijakannya BI bisa semakin membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.. aamiiin
BalasHapusAamiiin. Insya Allah ya karena kalau Bank Indonesia tidak mengambil langkah pencegahan... Bisa jadi krisis moneter berulang terjadi:(
HapusSaya juga baru tau tentang makro prudensial dan jadi tau dari tulisan mama neng Terima kasih ya infonya
BalasHapusIya mbak sama sama
HapusBerat ya bahasannya tapi aku pun baru tahu sepenting itu peran Bank Indonesia
sistem keuangan dan kepercayaan memang saling berkaitan. Tentunya pengelolaan keuangan harus bisa berjalan baik. Supaya publik bisa percaya
BalasHapusNah itu dia mom Chi. Yang namanya "kepercayaan pada sistem" itu berbanding lurus dengan kemakmuran ekonomi
HapusBahasan nampak berat, tapi ternyata berkaitan juga dengan hal yang paling dekat dengan kita ya seperti bagaimana mengelola keuangan.
BalasHapusHehehe kaaaaan mbak Gita
HapusMau tak mau kita HARUS MENGERTI.
Terima kasih sharingnya budhe, saya jadi makin mengerti, ternyata kebijakan makroprudensial dari Bank Indonesia ini punya peran penting juga dalam memelihara kestabilan nilai rupiah ya.
BalasHapusBetul Awan. Selama ini aku berpikir tau tentang situasi ekonomi politik itu gunanya hanya sekedar "tahu"
HapusTernyataaaa berpengaruh besar terhadap kehidupan plus nasionalisme
Itu Dani Rahmat yg suka posting soal investasi?
BalasHapusSistem maksroprudwnsial memang harus dijalankan pada masa-masa seperti ini setelah pandemi supaya terjaga sistem keuangannya.
Betul Nurul. Aku lumayan sering dengerin podcast dia walau ada juga yang gak sepaham sama pemikirannya hehehheh
HapusMemang ya Mba, lingkungan itu memengaruhi stabilitas keuangan. Karena bagaimanapun hasil pertanian, perkebunan, hingga perhutanan termasuk dalam hal penting laju ekonomi yang stabil. Kalau lingkungan sudah tidak hijau ya, tidak heran banjir, kekeringan, dan perubahan iklim berdampak besar juga terhadap perekonomian. Jadi, saya dukung banget kalau bank Indonesia juga peduli dengan bumi yang lebih hijau.
BalasHapus