EMOSI BOLEH, ASAL....

"Siapapun bisa marah. Marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, 
dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan 
dengan cara yg baik, bukanlah hal mudah."  

-- Aristoteles, The Nicomachean Ethics.



Seringkali orang menganggap remeh pada masalah ini : mampu menguasai emosi. Yang kumaksud tentu saja bukan emosi yang positif, ya. Tapi cenderung pada emosi negatif seperti kesal, marah, bertingkah kasar, mengejek, sedih atau takut.

Emosi itu apa sih? 

Emosi adalah reaksi seseorang terhadap satu kejadian. Emosi ini turunan dari kata Perancis, tadinya. Kata bentukannya  Ã©motion, dari Ã©mouvoir, e- berarti luar, sedangkan movere artinya bergerak.

Emosi ini bisa bertahan lama atau sebentar, tergantung pada kondisi tubuh dan pikiran. Pada saat sakit atau susah hati, emosi bisa lebih cepat terpicu. Dan bisa mengendap dalam tempo lama. Repotnya, kalau seseorang sedang dalam kondisi sangat rendah, dan emosi yang terpicu ini mengendap dan membuatnya bersarang -tidak hanya di dalam hati tapi juga otaknya-.

Jika bersarang cukup lama, pastilah menggerogoti badan juga, loh. Bisa dalam bentuk penyakit, pusing dan lain sebagainya. Satu hal yang pasti, berkubang dalam emosi negatif tidak akan membawa kita ke mana-mana. Obviously. 

Padahal, untuk mencapai kesuksesan kita membutuhkan tidak hanya otak yang brilian, tapi juga hati yang seluas samudera.

Kecerdasan emosi 
Gambaran mental dari seseorang yang cerdas menganalisa, merencanakan dan menyelesaikan masalah, mulai dari yang ringan hingga kompleks ini disebut kecerdasan emosi atau istilah kerennya EQ - Emotional Quotation.

Dengan kecerdasan ini, seseorang bisa memahami, mengenal, dan memilih kualitas mereka sebagai insan manusia. Orang yang memiliki kecerdasan emosi bisa memahami orang lain dengan baik dan membuat keputusan dengan bijak.

Lebih dari itu, kecerdasan ini terkait erat dengan bagaimana seseorang dapat mengaplikasikan apa yang ia pelajari tentang kebahagiaan, mencintai dan berinteraksi dengan sesamanya.

Selain itu, ia pun tahu tujuan hidupnya, dan bertanggung jawab dalam segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Ini bukti tingginya kecerdasan emosi yang dimilikinya.

Kecerdasan emosi lebih terfokus pada pencapaian kesuksesan hidup yang *tidak tampak*.

Kesuksesan bisa tercapai ketika seseorang bisa membuat kesepakatan dengan melibatkan emosi, perasaan dan interaksi dengan sesamanya. 

Terbukti, pencapaian kesuksesan secara  materi tidak menjamin kepuasan hati  seseorang.

Di tahun 1990, Kecerdasan Emosi (yang juga dikenal dengan sebutan "EQ"), dikenalkan melalui pasar dunia.

Dinyatakan bahwa kemampuan seseorang untuk mengatasi dan menggunakan emosi secara tepat dalam setiap bentuk interaksi lebih dibutuhkan daripada kecerdasan otak (IQ) seseorang.

Boleh Emosi Tapi Arahkan Pada Hal Positif
Bagaimana bisa, emosi bisa mengubah segala keterbatasan menjadi hal yang luar biasa? Bisa.

Seorang miliuner kaya di Amerika Serikat, Donald Trump, adalah contoh apik dalam hal ini. Di tahun 1980 hingga 1990, Trump dikenal sebagai pengusaha real estate yang cukup sukses, dengan kekayaan pribadi yang diperkirakan sebesar satu miliar US dollar.


Dua buku berhasil ditulis pada puncak karirnya, yaitu "The Art of The Deal dan Surviving at the Top"


Ngintip Kesuksesan Donald Trump

Jalan yang dilalui Trump tidak selalu mulus...


Depresi yang melanda dunia di akhir tahun 1990 - dimana harga saham properti anjlok dengan drastis, membuat kehidupan Trump menjadi gonjang ganjing.

Trump menanggung hutang sebesar 900 juta US Dollar, dan Bank Dunia sudah memprediksi kebangkrutannya.

Pada saat itu, teman-teman bisnis Trump -yang mendewakan uang tentu saja- berpikir bahwa inilah akhir kehidupan mereka, hingga benar-benar mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.

Kecerdasan emosi Trump benar-benar diuji, ketika mantan istrinya tercinta, Ivana malah meninggalkannya. Ketika ia mengharap simpati dari mantan istrinya, ia justru diminta memberikan semua harta yang tersisa sebagai ganti rugi perceraian mereka. Konon, bahkan perabot rumah tangga, hingga lemari pakaian juga diangkut!

Orang-orang yang dianggap sebagai teman dekat Trump juga meninggalkannya begitu saja. Putus asa? Tidak ada dalam kamus Trump.

Trump justru memandang bahwa ini kesempatan untuk bekerja dan mengubah keadaan. Meski secara finansial ia telah kehilangan segalanya, namun ada "intangible asset" yang tetap dimilikinya.

Ya, Trump memiliki pengalaman dan pemahaman bisnis yang kuat, yang jauh lebih berharga dari semua hartanya yang pernah ada!

Pada tahun 1990, sebagai dampak dari resesi, Trump kesulitan membayar utangnya. Ia dihadapkan pada masalah pembayar pinjaman atas kasino ketiganya yaitu Taj Mahal yang setara dengan 1 milyar dollar dengan bunga sangat tinggi.

Meski ia harus mempertahankan bisnis dengan tambahan pinjaman dan menunda pembayaran bunga pinjaman, namun resesi di tahun 1991 membuat bunga bank menjadi tak terbayar. Bank -bank telah kehilangan ratusan juta dollar, dan bisnis banyak yang bangkrut. 

Pada tanggal 2 November 1992, Trump Plaza Hotel terpaksa merencanakan paket perlindungan dari kebangkrutan setelah tidak mampu membayar tunggakan pinjaman. Trump bersedia untuk memberikan 49 persen saham dari Hotel mewah tersebut kepada Citibank dan 5 penyandang dana lainnya, dan Trump akan menjabat posisi sebagai Chief Executive, tanpa bayaran.

Pada tahun 1994, Trump kehilangan 900 juta dollar dari rekening pribadinya dan kerugian drastis pada sektor bisnis sebesar 3,5 milyar dollar. Ketika dia dipaksa untuk meninggalkan Trump Shuttle, dia diharuskan untuk mengurus Trump Tower di New York City dan mengontrol 3 buah kasino di Atlantic City.

Chase Manhattan Bank yang telah meminjamkan uang kepada Trump untuk membeli West Side Yards, yang merupakan parsel Manhattan terbesarnya, terpaksa harus dijual kepada pengembang-pengembang di Asia.
"orang yang sukses adalah orang yang memiliki mimpidan keyakinan bahwa mimpi itu akan dapat terjadiberapapun harga yang harus ia bayar"
Apa yang terjadi selanjutnya?

Fantastis, enam bulan kemudian Trump sudah berhasil membuat kesepakatan terbesar dalam sejarah bisnisnya.

Tiga tahun berikutnya, Trump mampu mendapat keuntungan sebesar US$3 Milliar. Ia pun berhasil menulis kembali buku terbarunya yang diberi judul "The Art of The Comeback".

Dalam bukunya ini Trump bercerita bagaimana kebangkrutan yang menimpanya justru menjadikannya lebih bijaksana, kuat dan fokus daripada sebelumnya.

Bahkan ia berpikir, jika saja musibah itu tidak terjadi, maka ia tidak akan pernah tahu teman sejatinya dan tidak akan menjadikannya lebih kaya dari yang sebelumnya. Luar biasa bukan? :-)
Kecerdasan Emosi memberikan seseorang keteguhan untuk bangkit dari kegagalan, juga mendatangkan kekuatan pada seseorang untuk berani menghadapi ketakutan.
Tidak sama halnya seperti kecerdasan otak atau IQ, kecerdasan emosi hadir pada setiap org & bisa dikembangkan.

Berikut beberapa tips bagaimana cara mengasah kecerdasan emosi:

1. Selalu hidup dengan keberanian.

Latihan dan berani mencoba hal-hal baru akan memberikan beragam pengalaman dan membuka pikiran dengan berbagai kemungkinan lain dalam hidup.

2. Selalu bertanggung jawab dalam segala hal.

Ini akan menjadi jalan untuk bisa mendapatkan kepercayaan orang lain dan

mengendalikan kita untuk tidak mudah  menyerah. "being accountable is being
 dependable"


3. Berani keluar dari zona nyaman.

Mencoba keluar dari zona nyaman akan membuat kita bisa mengeksplorasi banyak hal.

4. Mengenali rasa takut dan mencoba untuk menghadapinya.

Melakukan hal ini akan membangun rasa  percaya diri dan dapat menjadi jaminan bahwa segala sesuatu pasti ada  solusinya.

5. Bersikap rendah hati.

Mau mengakui kesalahan dalam hidup justru dapat meningkatkan harga diri kita.

Jadi, pentingkah kecerdasan emosi? Tentu penting, karena mengendalikan emosi salah satu faktor penting yang bisa mengendalikan diri menuju sukses dan juga menikmati warna-warni kehidupan. :-)

10 komentar

  1. Tips yang sangat bermanfaat mbak Tanti.
    Terutama yang nomor 3 itu ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. yang nomor 3 itu - elo banget mbak Ket ^^

      *kadang bingung, energinya dari mana aja !*

      Hapus
  2. Jadi inget kata-kata, "boleh emosi (mis. marah/kesal) asal jangan berbuat dosa" Mungkin bisa disamakan dengan kecerdasan beremosi yaa.. ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betuul... mungkin gimana cara mengelola emosi juga

      Hapus
  3. Wooow....bisa bangkit dikala orang-orang meninggalkanmu itu sungguh luar biasa energinya. Salut buat Trump.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Satu sisi, dia dihujat, sisi lain ternyata dia motivator tanpa suara ya mbak Lina

      Hapus
  4. Kisahnya mengingatkan pada kondisi saya, mbak. Agak lebih parah meski nominalnya jauh beda. Yah... tahu rasanya.

    saat ini saya sedang belajar the art of the comeback. Semoga berhasil dan lebih baik lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. wooh, sepertinya mbak Susi kudu ninggalin link deh - apa itu ditulis di blog?
      Art of comeback.. sepertinya bagus buat ditulis ^^

      Hapus
  5. dulu aku juga emosian, lama-lama ngejalani apa yg mbak kasih tipsnya, akhirnya walau byk aral melintang, tetap semangat jalani apa yg ada.. berani keluar dari zona nyaman :)

    BalasHapus
  6. Emosiku benar-benar perlu diasah nih. Kadang gak enak juga, sampai keterlaluan emosinya. Efek ke anak. :( Pas udah gitu, nyesel gak ketulungan

    BalasHapus

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)