Menjaga Waras di Tengah Tsunami Informasi



    Akhir-akhir ini, aku merasa seperti hidup dalam ruang tunggu yang berisik.

Bukan suara-suara biasa, tapi suara dari layar gawai yang terus saja berdenting: berita kekerasan, perang yang tiada ujung, kegaduhan politik Indonesia yang kadang lebih mirip komedi satir, dan sederet keputusan kebijakan yang—kalau boleh jujur—melelahkan hati dan pikiran.


    Satu sisi hatiku ingin tahu. Sebagai ibu, warga negara, manusia biasa yang masih punya empati, aku merasa need to know. Tapi sisi lainku menjerit, "Tolong! Cukup sudah! Otakku penuh!"

Mungkin kamu juga pernah merasa seperti itu?

Dunia yang Tak Pernah Diam


    Kita hidup di era di mana informasi datang tanpa jeda. Sekali buka media sosial, tayangan tentang anak yang jadi korban kekerasan, update konflik di Gaza, harga kebutuhan pokok naik, komentar pejabat yang nyeleneh, semua itu berhamburan dalam satu gulir jempol. 

Kadang-kadang aku mikir, "Ini informasi... atau kontaminasi?"

    Tapi ya gimana, nggak mungkin juga kita jadi manusia yang tutup mata sepenuhnya. Karena ada banyak hal penting yang memang butuh perhatian. Kita perlu tahu kabar bencana agar bisa berdonasi. Kita butuh update isu sosial agar bisa peduli. Kita harus paham kondisi politik agar tidak salah pilih saat pemilu nanti.

Nah, di sinilah seni memilah itu jadi penting.

Bukan Antisosial, Tapi Aware


Dalam foto ini, aku berdiri di depan deretan karya seni pop surealis yang lucu tapi menyentil, seolah menggambarkan betapa kacaunya dunia informasi saat ini—nyeleneh, ramai, dan kadang bikin kepala pusing.

Momen ini jadi pengingat manis bahwa menjaga waras bisa dimulai dari hal sederhana: melihat seni, tersenyum, dan memberi jeda pada otak dari riuhnya berita dan notifikasi. Kadang kita perlu berhenti sejenak, bukan karena menyerah, tapi agar bisa melihat dunia dengan cara yang lebih ringan dan sehat.


    Aku percaya, jadi warga digital yang sehat itu bukan soal disconnect total dari dunia, tapi tentang awareness—kesadaran penuh tentang apa yang kita konsumsi.

    Dulu aku pernah coba puasa berita selama seminggu. Ternyata bukan solusi. Alih-alih tenang, aku malah gelisah dan merasa kehilangan konteks. Akhirnya aku belajar satu hal penting: kita bukan harus kabur, tapi harus pintar menyeleksi.

Ini Cara Aku Menyaring Informasi

  • Setel “alarm mental” saat mulai cemas berlebihan.

    Kalau habis baca berita aku mulai gelisah, emosi meledak, atau jadi mudah marah ke anak-anak, aku tahu tandanya: aku sudah kebanyakan ngunyah berita. 

Saatnya detoks digital. 

Tutup berita, hirup napas, ganti tontonan sama video kucing atau podcast yang menenangkan!

  • Ikut akun berita yang mindful, bukan sensasional.

Aku follow media yang menyajikan berita dengan tone netral, bukan yang lebay demi klik. Aku juga langganan newsletter dari sumber terpercaya yang langsung ke intinya. Jadi aku bisa stay informed, tapi nggak kejebak pusaran drama.

  • Tentukan “jam nonton dunia”.

    Aku bikin jadwal baca berita, biasanya pagi dan sore. Sisanya? Fokus ke hidupku sendiri. Karena terlalu sering buka berita itu kayak ngemil keripik, tahu-tahu habis sekantong besar dan perut malah mual.

  • Berempati, tapi tahu batas.

    Aku tetap berdonasi saat ada bencana, ikut kampanye kemanusiaan, atau share konten edukatif. Tapi aku sadar, aku nggak harus jadi relawan untuk semua isu. Kita bisa peduli tanpa harus menanggung semuanya di pundak sendiri.

  • Cerita sama teman, bukan cuma scroll.

    Kadang ngobrol langsung sama teman atau pasangan itu jauh lebih menyembuhkan daripada mantengin berita sendirian. Kita bisa saling menguatkan, dan melihat masalah dari kacamata yang lebih luas.

  • Kita Berhak Bahagia, Tanpa Jadi Tidak Peduli

    Kadang ada rasa bersalah ketika memutuskan untuk tidak menonton berita perang yang viral. Tapi aku belajar: melindungi kesehatan mental bukan berarti kita egois. Justru dengan menjaga diri tetap waras, kita bisa lebih bijak memilih aksi.

    Bayangkan kalau semua orang stress dan lelah mental karena terlalu banyak terpapar hal negatif—siapa yang bisa menolong? Siapa yang bisa jadi tempat berpijak bagi yang lemah?

Jadi buatku, protecting your peace itu bukan bentuk pelarian. Itu bentuk keberanian.
Hidup ini sudah cukup berat, jangan biarkan ponsel dan informasi yang tak tersaring ikut menambah beban.

Ingat, kita bukan robot yang harus tahu semua hal. Kita manusia biasa yang butuh ruang untuk bernapas, tertawa, dan menikmati kopi tanpa perasaan bersalah karena tidak ikut semua isu.

Dan yang paling penting: menjaga kesehatan mental itu tanggung jawab pribadi. Kita boleh peduli, tapi tetap perlu melindungi diri.

Jadi, yuk sama-sama belajar aware, bukan overwhelm. Biar kita bisa terus hadir buat yang kita cintai—dengan utuh, dengan bahagia, dan tetap waras.
Kalau kamu punya cara unik buat menyaring informasi, cerita dong di kolom komentar. Neng Tanti pengin belajar juga!

Komentar

Postingan Populer