Adab Memberi dan Menerima



    Ada satu momen sederhana yang ternyata cukup “menampar” aku beberapa waktu lalu.

Waktu itu aku lagi kumpul sama teman-teman lama. Seperti biasa, kalau ketemu ya pasti ujung-ujungnya makan-makan, ngobrol ngalor ngidul, sambil ketawa-ketawa. Suasana hangat, penuh cerita, dan pastinya… meja penuh makanan serta kue-kue.

    Nah, setelah acara selesai, masih banyak banget makanan tersisa. Si teman yang bertindak selaku host langsung membagi-bagi sisa biskuit, dan kudapan lain yang ada di meja.

Aku spontan bilang, “Aku bawa pulang ya itu masih ada satu ayam gorengnya,” karena ya memang biasanya begitu — biar nggak mubazir juga kan? Tapi tiba-tiba ada yang nyeletuk, “Si Tanti mah nggak pernah nolak dikasih.”

    Awalnya aku anggap bercanda. Ada yang nambahin lagi, “Iya, kalau kopi juga dia nggak pernah nolak tuh.”

Semua tertawa. Aku ikut tertawa juga… tapi entah kenapa kalimat itu terus diulang. 

    Sampai di satu titik, aku termenung:

Apa iya aku serendah itu, hanya karena menerima lauk atau kue sisa? 

Aku sendiri datang juga tidak dengan tangan kosong, ku berharap akan ada juga yang membawa kueku pulang...

    Jujurly dalam hatiku, aku menganggap jika aku MAU MENERIMA, biasanya itu pemberian dari orang yang kuanggap kakak, adik atau sahabat atau orang dekat, lah. Jadi wajar rasanya aku menerima tanpa banyak mikir. Tapi ternyata, ketika sampai rumah, aku justru menyesal.

    Karena sesungguhnya, dalam hati kita tahu ya… pemberian itu tulus atau tidak. Kita bisa merasakan kalau sesuatu itu diberikan dengan ikhlas, atau sekadar basa-basi, atau bahkan ada nada merendahkan di baliknya.

    Aku merasa malu karena meminta, walau mungkin hanya sepotong lauk, tapi kan lebih indah kalau ditawarin dulu ya sama yang punya rumah. Nih pelajaran berhargaaaa banget buatku! Ya jangan celamitan gitu bawa-bawa makanan orang, toh kamu juga mampu beli sendiri, neng Tanti!

    Dan di momen itu aku belajar sesuatu. Aku, Tanti Amelia, berjanji pada diriku sendiri:
            
Aku hanya akan menerima pemberian yang tulus. Pemberian yang spesial karena memang ingin dibagi, bukan karena gengsi atau sambil ngomel di belakang. Kalau tidak, lebih baik aku menolak dengan halus.

    Aku berdoa sepenuh hati kepada Allah agar diberikan rezeki yang luas, hati yang lapang, sehingga suatu hari nanti… akulah yang memberi semuanya. Akulah yang berbagi makanan, kue, dan rezeki lain, dengan senyum dan ketulusan.

Bagaimana Dengan Etika dan Kebiasaan Membungkus Saat Berada di Dalam Sebuah Acara?



    Nah ini...
Aku pernah loh melihat (eh, sering malahan) melihat ibu-ibu yang membungkus makanan dan memasukkannya ke dalam tas besar yang mereka bawa. 

Yaaah kalau yang dibungkus sedikit (misal kue yang mereka nggak mau makan di tempat) sih nggak apa-apa. Laah ini, satu piring kue-kue berisi full dimasukkan bulat-bulat sama piring kertas alasnya sekalian! Aku aja yang liat rada jengah.... hehehhehee....

    ... ssst... ini bukan masalah di rumah kekurangan makanan ya, karena ku tahu persis yang bersangkutan adalah seorang terpandang di lingkungan, dan rumahnya tuh kalau dari arah Islamik ke Legok, terlihat besar, megah dengan sebuah usaha di depan rumah, serta  terletak di pinggir jalan raya :)))

    Kalau acaranya di dalam keluarga atau lingkup kecil - atau memang dipersilakan tuan rumah membungkus sih hayuk aja. Biasanya memang mereka menyediakan berlebih sebagai tanda sayang kepada tamunya, bukan?

    Dilansir dari detik.com, Pasukan 'kolombus' adalah istilah yang disematkan netizen untuk 'kelompok bungkus-bungkus'. Merujuk pada mereka yang hobinya membungkus makanan di acara hajatan.

Jumlah makanan yang dibungkus kadang tidak wajar, sehingga aksi 'kolombus' sering kali seperti merampok makanan di acara. Mereka seolah tidak mempertimbangkan ketersediaan makanan untuk tamu lain atau perasaan si tuan rumah.

Adab Memberi dan Menerima, Serta Tips Agar Tidak 'Serakah'



    Dalam hidup, adab itu penting. Termasuk dalam hal memberi dan menerima.

Adab memberi:
  • Beri dengan hati yang ikhlas, bukan karena terpaksa.
  • Jangan merendahkan orang yang diberi.
  • Sertakan doa kebaikan saat memberi.
  • Beri dengan cara yang membuat penerima merasa dihargai.
Adab menerima:
  • Terimalah dengan syukur, tanpa merendahkan diri sendiri.
  • Jika memang tidak berkenan, tolaklah dengan halus dan sopan.
  • Jangan menuntut atau meminta-minta.
    Ingat bahwa menerima juga bagian dari menghargai pemberi, selama pemberiannya tulus. 

    Ingat lagi.... agar tak terlihat serakah, ada beberapa tips etiket yang bisa diikuti. "Ambil maksimum 2 porsi saja, cukup untuk 2 orang. Dan jangan berlebihan seperti mengambil stok makanan untuk 3 hari," kata Ellen Tendean, seorang pakar etika.

    Tips etiket lain yang tak kalah penting saat membungkus makanan adalah tidak mulai membungkus makanan jika tuan rumah belum mempersilakan. Pastikan juga tuan rumah memang memiliki budaya mengizinkan tamu membungkus makanan.

    Lalu bagi yang sering menjadi tuan rumah acara atau panitia, pastikan menyiapkan kotak makanan yang memiliki kompartemen. Dengan begitu tamu dapat membungkus makanan dengan rapi dan setiap orang mendapatkan porsi yang sama.

    Jadi inget (lagi) seorang teman yaitu Rani noona yang menulis drama Korea yang bercerita tentang kehidupan seorang wanita yang ingin menikahi seorang anak muda yang super kaya tajir melintir aman banget, dan sang calon Bu mertua (as always) merendahkan dirinya. Yaaah sebelas dua belas-lah yaaa sama film Crazy Rich Asian ituh. 

Bisa ditebak, di dalam blog review drakor, dracin dan dorama-nya dijelaskan bahwa akhirnya si wanita muda memilih menjauh karena tentu saja harga dirinya lebih mahal daripada menikah tapi direndahkan seumur hidupnya! 

Akhirnya, yang paling penting adalah ketulusan hati. Karena di hadapan Allah, besar kecilnya pemberian nggak penting, tapi niat dan ikhlasnya itulah yang bernilai.

Komentar

  1. Terkadang ada beberapa mindset yang menurut saya kurang tepat tapi kayak jadi pembenaran. Misalnya ketika menghabiskan makanan di piring saat makan di resto atau kondangan, ternyata ada yang menganggap itu malu-maluin. Disangkanya kelaperan. Padahal kan maksudnya supaya gak mubadzir.

    Untuk sikon tertentu, saya masih bisa bodo amat. Tapi, kalau circle yang dekat berkali-kali ngomong meskipun alasannya cuma becanda, saya mending menarik diri. Apalagi kalau udah dikasih tau tetap aja diolok-olok

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau yang kondangan justru JANGAN menghabiskan segala sesuatu yang disediakan dengan cara memasukkan ke dalam tas ya Chi. Itu juga memalukan sih buatku. diliat juga ngga elok

      Hapus
  2. Menarik sih mbak pembahasannya. Kadang emang kita melakukan apa, orang lain menganggap apa. Tetapi yang penting tidak merugikan siapapun dan melanggar hukum, tidak masalah sih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh gitu ya mas Adi, iya sih ini masih terkait MINDSET yaaa

      Hapus
  3. saya tebak, teman Mbak Tanti hanya bercanda, cuma caranya yang salah
    saya sendiri sering membawa snack sisa atau jatah kalo kebetulan cocok dengan lidah atau ingat anak di rumah suka snack tersebut
    Tapi bagus juga ditulis Mbak, kali aja temen Mbak Tanti baca
    dan mengoreksi setiap ucapannya di masa yad

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ambu becanda ternyata kalau saat yang bersangkutan sedang sensi ..hehehhe

      Hapus
  4. Baca tulisan ini aku jadi merenung. Konsep memberi dan menerima tuh juga aku pegang banget. Yang pasti harus ikhlas dengan penerimaan hati yang sama. Baik saat memberi maupun saat menerima. Memang gak gampang ya menyelami ketulusan orang saat kedua hal ini kita lakukan. Dan biasanya itu tercermin dari tindakan maupun ucapan. Aku pun sekarang berhati-hati banget. Membatasi diri agar tidak terjebak pada situasi yang akhirnya membuat orang berpikir atau berasumsi salah atas apa yang aku lakukan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yeessss mending apa adanya - mau ngasih kudu kasih tau ybs bahwa ini memang khusus untuk dia

      Hapus
  5. Kalau berbicara di hajatan, aku beberapa kali juga menemukan itu. Tapi, biasanya bukan di kalangan para tamu. Aku lebih banyak melihat di kalangan orang-orang yang bantuin. Biasanya kan emang pemilik hajatan sudah mengijinkan mereka untuk membawa makanan gitu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu kalau diumumkan - dan sebaiknya ya liat kanan kiri ya mbake

      Hapus
  6. Iya sih mbak, kalau sampai ada suatu perkataan yang diulang-ulang, itu seolah menegaskan isi pikirannya tentang image kita di mata dia. Sekiranya itu mulai mengganggu, kalau aku ya, bakal kuperjelas haha.

    Soal membungkus di hajatan, aku setuju. Jika ditawari, ambil sebagai rasa hormat kepada yang memberi. Tapi kalau aku ya, bungkus-bungkus gitu asli merasa malu, walau udah ditawari. Jadi kuambil sedikit aja. Misal itu kue, kuambil aja 2 biji udah. Lebih dari itu kok ya aku malu haha. Berasa gak pantes aja gitu bungkus-bungkus makanan di hajatan.

    Kalau di suatu acara event, aku pernah liat ada yang bungkus makanan, padahal acara belum selesai, dan keadaannya ybs udah makan kenyang di acara. Ada juga pas diajak makan di restoran, mesen minta bungkus tanpa ijin, padahal udah makan di tempat dan diijinkan nambah kalau masih kurang, tapi ga ada tawaran bungkus. Orang lain yang begitu, tapi aku yang malu liatnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Noted mbak Rien, sekarang aku sangaaaattttt berhati hati banget ini, makanya stop dari konteks persahabatan yang ke depannya menimbulkan toxic

      Hapus
  7. pembahasan yang cukup membuka pikiran ku, ternyata beda orang beda persepsi ya. aku setuju bangett sama kalimat kakak, intinya yang penting tulus dan ikhlas ya :') aku juga ngerasain

    BalasHapus

Posting Komentar

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)

Postingan Populer