Dari Lereng Merapi hingga Kopi Rolas: Perjalanan Penuh Cerita Keluarga The Satiris

Petualangan Naik Jeep Yang Tak Terlupakan 

The Satiris Goes to Merapi: Petualangan Jeep, Cerita Abu, dan Hangatnya Kebersamaan

    Kalau ada yang bilang liburan keluarga itu ribet, mungkin benar. Tapi di balik ribetnya, selalu ada cerita yang nggak bisa dibeli dengan uang a.k.a tak ternilai harganya...

    Begitu juga dengan perjalanan keluarga besar kami, The Satiris, ke Gunung Merapi, Yogyakarta. Dari awal naik jeep yang penuh debu, mampir ke bekas rumah yang tertutup abu vulkanik, sampai menghirup aroma kopi hangat di Kopi Rolas, semuanya terasa seperti satu film keluarga yang lengkap dengan petualangan, tawa, dan kehangatan.

Malam Pertama di Hotel Khas Tugu Yogya

    Di postingan sebelumnya,  yaitu usai dari Omah Kecebong, kami menuju hotel untuk check-in. Meeting keluarga besar memutuskan untuk menginap di Hotel Khas Tugu Yogya, yang lokasinya strategis. Persis di seberang Tugu Yogya dan hanya 5 menit dari Malioboro.



Kamarnya bersih, nyaman, dan pelayanan ramah—cocok banget buat rombongan besar.    

Bisa ditebak. Anak-anak bersama para sepupu langsung heboh pengen jalan kaki ke Malioboro. Namanya juga anak muda, energi kayak nggak ada habisnya. 

Sementara itu, di kamar, aku malah sibuk ngerokin Bang Dho yang tiba-tiba masuk angin. Rasanya lucu juga, sebelum berangkat Ica sakit, eee.. baru hari pertama liburan, udah ada yang tumbang. Tapi begitulah, perjalanan keluarga selalu penuh warna.

Hari Kedua: Sarapan dan Petualangan Merapi


    Pagi-pagi kami sarapan di 
Sop Empal Bu Haryoko, sedangkan anak-anak sepakat sarapan di  hotel saja sambil berenang! 



Baru kali ini nih, aku sukaaa sekali sama sop daging. 
Kuahnya bening, rasanya ringan tapi gurih—cocok banget buat mengawali hari yang panjang.

Sop Empal Bu Haryoko ini sudah buka sejak tahun 1970-an dan tetap menyajikan menu yang sama sejak pertama kali berdiri. Warungnya juga sangat sederhana, tampil dengan dinding hijaunya yang khas. Di bagian dalam ada deretan meja panjang dengan kursi plastik seperti warung makan kebanyakan.

Di sini pengunjung bisa menemukan menu sup yang berisi kol dan bihun. Selain itu ada olahan daging paru dan empal dengan sambal khas racikan pemiliknya. Menu lainnya ada ayam goreng, gendar, nasi pecel dan telur mata sapi. Kisaran harga per paket menunya juga sangat terjangkau, mulai dari Rp 25.000 sampai Rp 50.000.

Karena harganya yang terjangkau serta rasanya yang sedap, warung sop ini sangat populer bahkan di kalangan pesohor. Sultan Yogyakarta beberapa kali berkunjung ke sini. Begitu juga dengan artis ibu kota.

Wisata Merapi; Sensasi Seru Jelajahi Lereng Gunung


    Bayangkan satu keluarga besar, semua masuk ke dalam beberapa jeep, masing-masing dengan wajah excited sekaligus was-was.  Total ada 18 jip yang kami naiki di pagi hari cerah itu.

Jalanan bebatuan dan debu abu vulkanik jadi teman sepanjang rute. Jeep melaju kencang, kadang miring sedikit, bikin kita teriak-teriak seru seperti lagi main roller coaster versi alami.


    Anak-anak tentu saja paling heboh, teriak-teriak kegirangan sambil ketawa ngakak. Orang dewasa pun nggak kalah—ada yang sibuk merekam dengan ponsel, ada juga yang cuma bisa pegangan erat sambil doa dalam hati. Sensasi jeep Merapi ini memang khas, bikin kita sadar bahwa perjalanan kali ini bukan sekadar jalan-jalan biasa.



Mengunjungi Bekas Rumah Tertutup Abu: Belajar dari Kekuatan Alam


    Salah satu destinasi paling menyentuh adalah saat kami berhenti di sebuah rumah yang sudah lama terkubur abu vulkanik. Rumah itu dibiarkan apa adanya, seperti monumen bisu yang menyimpan cerita pilu erupsi Merapi. Ada perasaan campur aduk ketika melihatnya—sedih membayangkan betapa cepatnya alam bisa mengubah kehidupan, tapi juga kagum pada ketangguhan warga yang tetap bertahan.

    Di dalam rumah itu, beberapa benda masih tersisa. Ada perabot, ada foto, bahkan kadang terlihat mainan anak-anak. Rasanya seolah waktu berhenti di sana. Buat kami, momen ini bukan hanya wisata, tapi juga refleksi. Anak-anak jadi bisa belajar langsung bahwa hidup itu penuh ketidakpastian, dan kita harus selalu siap menghadapi apapun.


Selain rumah abu, perjalanan jeep juga membawa kami ke berbagai spot menarik lain di sekitar Merapi:
  • Batu Alien: Sebongkah batu besar yang bentuknya mirip wajah alien. Entah kebetulan atau sugesti, tapi memang unik. Spot ini jadi tempat favorit untuk foto-foto, apalagi dengan latar Merapi yang gagah.
  • Bunker Kaliadem: Bangunan beton yang dulunya dipakai untuk berlindung dari awan panas. Meski sejarahnya cukup kelam, bunker ini kini jadi tempat wisata sejarah yang bikin kita lebih menghargai perjuangan orang-orang terdahulu.

  • Stonehenge Merapi: Replika Stonehenge di Inggris, tapi versi Merapi. Cocok banget buat foto keluarga karena suasananya unik dan berbeda dari tempat lain.
Setiap spot punya cerita masing-masing, dan kami semua menikmatinya sambil bercanda, foto bersama, atau sekadar duduk menikmati pemandangan. Ngobrol tentang cerita, aku jadi ingat Rumah Kurcaci Pos deh... rasanya kalau sama keluarga dan anak-anak, pasti langsung jadi cerita yang indah, bukan?

Menikmati Kopi Rolas

    Usai naik jeep, kami berhenti di Kopi Rolas

    Kopi Rolas terletak di Jalan Harjobinangun, Kaliwanglu, dalam lingkungan RT.001/RW.017, Bendosari, Hargobinangun, di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.

    Tempatnya punya vibes yang keren banget, semi industrial tapi tetap ada sentuhan tradisional. Kopinya enak, makanannya pun pas di lidah. Duduk di sana sambil ngobrol ngalor-ngidul, rasanya waktu berjalan pelan.



    Bukan keluarga The Satiris kalau bukan menutup hari dengaaaan.... makan duren! Yup! Tentu saja ada tangan cekatan sang ibu kordinator acara - jeng Rani - istri Opik (adik no 8) yang dengan lincah mengatur tumpukan duren kupas dibantu oleh dua orang kepercayaannya.

Ahahaaa... kenyang dengan bahagia!

    Kami keluar dari Kopi Rolas pukul 16.00 usai sholat ashar, daaaan.... jeng jeeeng... begitu keluar, kenyataan menghantam: macet panjang. Long weekend, libur sekolah, Yogya jadi penuh sesak. Bus nggak bisa jalan, akhirnya kami turun dan memilih jalan kaki menuju hotel!

    Masalahnya, Malioboro itu panjang banget dari ujung ke ujung. Kami sempat nyasar, bingung arah, sampai kaki terasa mau copot. Untungnya ada sopir taksi baik hati yang nolongin, jadi perjalanan pulang bisa diselesaikan tanpa drama lebih besar.

Hari Ketiga: Pasar Ngasem dan Bubur Pinggir Jalan


    Esok paginya, usai sholat subuh kami niatnya mau belanja oleh-oleh di 
Pasar Ngasem. Tapi ternyata penuh banget! Orang berdesakan, antrian di mana-mana, bikin suasana agak sumpek. Akhirnya kami menyerah dan memilih sarapan seadanya di pinggir jalan.

    Ternyata justru itu yang bikin memorable: bubur ayam dan soto ayam pinggir jalan rasanya juara. Hangat, sederhana, tapi nikmatnya sampai hati. Kadang yang paling sederhana memang yang paling berkesan.

Pulang dengan Hati Penuh Syukur

    Hari itu juga kami langsung bersiap pulang. Bus melaju kembali ke Jakarta, dan malamnya sekitar jam 22.00, kami sudah tiba. Aniqa langsung ke Ciputat, sementara aku dan keluarga kembali ke Tangerang.

    Capek? Iya. Tapi hati penuh syukur. Perjalanan singkat ini mungkin nggak sempurna—ada sakit, ada macet, ada nyasar—tapi justru semua itulah yang bikin kisah ini indah.

    Liburan bareng keluarga besar itu bukan soal destinasi, tapi soal kebersamaan. Dan Yogya kali ini berhasil jadi saksi, bahwa keluarga besar Satiri tetap kompak, tetap hangat, tetap penuh cinta.

Kenangan yang Selalu Hidup

    Kalau ditanya apa yang paling aku ingat dari perjalanan ini, jawabannya bukan sekadar jeep Merapi, bukan juga soto yang enak-enak itu, tapi momen ketika 50 orang berkumpul dalam satu foto di Omah Kecebong, di depan Bunker Kaliadem, di Petilasan Mbah Maridjan, di mana-mana tertawa bersama, makan bersama keluarga dengan penuh rasa syukur... 

    Itu yang nggak bisa diulang, nggak bisa digantikan, dan nggak bisa dibeli dengan apa pun.

    Dan begitulah, Yogya adalah tempat berbagi cerita dan ceria yang selalu punya cara untuk bikin kita ingin kembali lagi. Entah untuk kuliner, untuk jalan-jalan, atau sekadar mengulang hangatnya kebersamaan keluarga besar.

Sampai jumpa lagi, Yogya. The Satiris will be back!


Komentar

Posting Komentar

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)

Postingan Populer