Cara Mengukur Kebahagiaan: Versi Tanti Amelia yang Beda dari Dunia Barat


boleh dibaca sambil dengerin lagu ini yaa 

“Kamu bahagia gak sih, Tan?”

Pertanyaan itu pernah mampir begitu aja dari sahabatku waktu kami nongkrong di kafe kecil dekat rumah. Aku cuma senyum.


“Bahagia itu apa dulu?” jawabku. “Kalau versi aku, mungkin secangkir kopi pagi sambil lihat anak-anak udah berangkat sekolah dengan senyum, itu udah cukup.”

“Lah, kok simpel banget?” katanya sambil ketawa kecil.

Iya, kelihatannya simpel. Tapi justru di situ letak rumitnya kebahagiaan — karena ukuran tiap orang beda-beda.

Beberapa waktu lalu, aku sempat scrolling berita dan hampir semua media ngomongin hal yang sama: Deddy Corbuzier dan Sabrina cerai.

Padahal ya, mereka selalu tampil mesra, saling support, bahkan masing-masing bilang, “Pasanganku tuh yang terbaik.”

Tapi toh, ujungnya pisah juga.

Aku bengong lama.

“Kalau dua orang yang saling mengagumi aja bisa berpisah, berarti bahagia itu nggak bisa diukur dari ‘the best partner’, ya?”

Aku lalu kepikiran hal lain. Kadang aku suka nonton serial-serial luar yang ikonik banget.

Misalnya Keeping Up with the Kardashians — keluarga dengan segalanya: uang, kemewahan, nama besar, bahkan jet pribadi pun mereka punya. Tapi di balik semua itu, berapa kali sih kita lihat mereka benar-benar bahagia tanpa drama?

Atau Sex and The City (yang sekarang jadi And Just Like That). Cewek-cewek New York dengan karier mentereng, gaya hidup glamor, tapi tetap aja bergulat dengan rasa kesepian, gagal cinta, dan pencarian jati diri.

Nah, di titik itu aku mulai ngerasa:

“Kayaknya ukuran kebahagiaan aku — yang lahir dan tumbuh di kultur Asia, muslim, dan ekonomi menengah — tuh jauh banget dari standar mereka.”

Buat aku, bahagia itu bukan hasil dari pencapaian luar biasa.

Bukan dari saldo rekening, bukan dari pasangan yang sempurna, apalagi engagement rate di media sosial.

Bahagia, versi aku, justru soal ketenangan batin.

Misalnya:
  • Saat bisa tidur nyenyak karena nggak punya dendam sama siapa pun.

  • Saat makan tempe goreng dan sambel bawang buatan sendiri sambil nonton drakor favorit.
  • Saat kerjaan freelance cukup buat bayar tagihan dan masih ada sisa buat jajan anak (plus jajannya di Bali :))) 
  • Saat bisa shalat tepat waktu dan ngerasa hati adem setelahnya.

Simple, ya? Tapi nggak mudah.

Aku pernah baca, kalau di Barat, happiness sering diukur dengan achievement dan self-actualization.

Sedangkan di Asia, khususnya di budaya kita, kebahagiaan lebih banyak dikaitkan sama keseimbangan — antara diri, keluarga, dan Tuhan.

Kita mungkin gak punya rumah megah atau tas branded, tapi bisa duduk bareng keluarga sambil ketawa tanpa beban, itu rasanya jauh lebih mewah.


Kita mungkin nggak selalu on top of the world, tapi bisa hidup tanpa iri dan tanpa perbandingan, itu udah luar biasa.

Lucunya, semakin sering aku lihat hidup orang lain (baik di dunia nyata atau di layar kaca), semakin aku sadar bahwa kebahagiaan tuh bukan kompetisi.


Nggak ada medali untuk siapa yang paling bahagia.

Nggak ada.

Karena pada akhirnya, ukuran kebahagiaan itu kayak pakaian — custom-made.

Nggak bisa diseragamkan.

Buat Deddy dan Sabrina, mungkin bahagia mereka adalah menemukan kedamaian masing-masing setelah berpisah.

Buat keluarga Kardashian, mungkin bahagia mereka adalah tetap relevan dan tetap disorot dunia.

Dan buat aku, Tanti Amelia, bahagia itu ketika aku bisa menulis hal-hal kecil kayak gini — sambil minum kopi, ngetik di ruang tamu, dengan musik lembut di latar belakang.

Jadi kalau kamu lagi bingung, “Bahagia gue tuh yang kayak gimana sih?”

Mungkin jawabannya bukan di luar sana.

Coba lihat cermin, lihat hidupmu hari ini.

Apakah kamu bisa mensyukuri yang kamu punya, bahkan yang sederhana?

Kalau iya — selamat, kamu udah bahagia.

Tanpa perlu pembuktian dari siapa pun.

Karena kebahagiaan sejati itu nggak diukur dari berapa besar dunia memujimu, tapi seberapa tenang kamu menjalani hidupmu. 💛

Komentar

  1. Sepakat, ukuran bahagia setiap orang tuh beda-beda.
    Bagiku makan mie instant kuah pedas itu hal biasa, tapi bagi salah satu teman seruanganku itu momen yang sangat di tunggu dan membuatnya bahagia, karena alasan kesehatan, dia tuh cuma bisa menikmati makan mie instant sebulan 2 kali.

    Bagiku tidur nyenyak sebelum jam 8 malam itu hal biasa, tapi bagi temanku itu hal yang bikin dia bahagia, karena dia termasuk orang yang suah tidur.

    Bagi temanku, jajan di Bali itu hal biasa, tapi bagiku itu hal istimewa dan memicu rasa bahagia, apalagi kalau ongkos dan akomodasi dibayarin hehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masya Allah.. bahagia menurut kita ternyata jauuuh banget bedanya ya mbak Nanik

      suwun udah berbagi insight di sini

      Hapus
  2. MasyaAllaah, setuju bangeet, Bu.
    Jujurly kadang ngerasa "iri" dengan pencapaian orang lain tapi ujung2nya mereka jadi kek puas kurang puas.
    Koruptor, ngga puas dengan uang hasil korupsi ratusan milyar tapi mash rakus mau sampe triliyunan.
    Padhala ratusan milyar itu udah kaya raya bangeeet. Itu sudah dicabut nikmat syukurnya, jadi masiiih aja kurang bahagia dengan uang ratusan milyar.
    Padahal bisa tidur nyenyak (ngga insomnia), bisa makan dan tinggal di rumah yang layak, ngga gampang sakit, kendaraan ngga sering mogok ajaa udah nikmat luar biasa dan patut disyukuri. Banyak2 bersyukur=bahagia, yes?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku serius bengong waktu penggerebekan demi penggerebekan terjadi di sana sini.

      Manusia alpa bersyukur:(((

      Hapus
  3. Tiap orang pasti beda-beda ngukur kebahagiaannya. Bisa aja menurut A sesuatu itu adalah yang membahagiakan nya, tapi malah menurut B kok gitu sih? Sederhana banget?

    Bisa juga sebaliknya.

    Jadinya ya seperti yang Mak Tanti bilang, gak bisa diukur dan disamaratakan kebahagiaan itu.

    Cara ngukurnya ya dengan kita bersyukur, kan. InsyaAllah kita menjadi bagian dari orang² yang senantiasa bersyukur kepada-NYA, aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bersyukur ala kita sendiri aja kadang kita "ngga bersyukur" ya mbak Fenny. Aku sering ngerasa gitu kok

      Hapus
  4. Setuju banget. Kebahagiaan yang hakiki menurutku adalah ketenangan batin. Sama seperti yang Tanti tulis di atas. Tapi buat aku ditambah lagi dengan sehat jiwa raga. Buat orang lain mungkin beda dan itu tidak salah. Karena skala ukuran kebahagiaan orang memang custom made. Banyak unsur kehidupan dan pengalaman pribadi yang terlibat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah.. kadang orang pikir sehat itu .. "ya udah sehat aja" padahal buat yang sedang sakit, SEHAT ITU ANUGERAH DAN KEKAYAAN LUAR BIASA

      Hapus
  5. setuju Mbak Tanti
    Saya jadin inget definis bahagia menurut Chef Renatta yang bilang kebahagiaan setiap orang berbeda. Gak bisa diukur dengan orang.
    Misal ada orang bahagia walau hanya menjadi OB suatu perusahaan
    Sementara orang lain baru bahagia bila berhasil menjadi manager perusahaan tersebut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener-bener jauuuh kan berarti yah definisinya,

      …konon, bahagia itu bukan soal seberapa tinggi posisi kita, tapi seberapa damai hati kita saat menjalani hidup. Ada yang bahagia cuma karena bisa ngopi pagi sambil liat matahari naik, ada juga yang baru merasa hidup kalau target besar tercapai. Intinya, bahagia itu bukan kompetisi — dia lebih kayak rasa syukur yang diam-diam tumbuh di momen kecil yang kadang gak kita sadari.

      Hapus
  6. Baru memikirkan hal yang sama maakk. Saat ini hidup cukup, makanan di kulkas selalu ada, udah kek nikmat banget.
    Emang kuncinya di rasa syukur aja sih yang bisa bikin bertahan hidup di dunia ini, apalagi di tengah godaan buat membandingkan diri karena adanya media sosial di mana kita bisa lihat kehidupan orang lain kok keknya lebih gampang dll.
    Kyknya iya, "bahagia"-nya orang berbeda2 yaaa. Maka, kita lah yang wajib menemukan sendiri di mana letak kebahagiaan kita.

    BalasHapus
  7. Yang sedih sih kalau pas lagi "BUTUH" ya April. Terus pas banget di beranda temen kita atau saudara sedang beli dan diposting . uwooowwww rasanya

    BalasHapus
  8. Aa... iya nih kak. Kalau lihat mereka (Om Dedy & Sabrina) jadi ovt. Lebih dari itu setiap orang punya kabahagiaan masing-masing dan saya juga sepakat kalau bahagia itu sederhana. Punya keseimbangan antara hidup, manusia, dan Tuhannya. Bisa tidur nyenyak dan hidup serba berkecukupan udah keren kali. Semangat, cayyooo.

    BalasHapus
  9. Kalau kebanyakan di puji akan berdampak pada tinggi hati. Kalau bahagia terukur dari seberapa besar kamu bersyukur

    BalasHapus
  10. Setuju. Kebahagiaan memang tolok ukur setiap orang berbeda. Bahkan gak bisa hanya dilihat dari konten di medsos. Malah menurut saya pria, kalau mau bahagia yang panjang itu caranya dengan selalu mensyukuri hal-hal kecil. Karena hal besar kan gak setiap saat datangnya. Kalau menunggu hal besar terjadi dulu, bisa-bisa kita kebanyakan prengat-prengutnya hehehe

    BalasHapus
  11. Bahagiaku saat ini adalah saat aku bisa pulang ke rumah setelah dari pagi ngajar, sampai rumah bisa mandi, rebahan sebentar tanpa gangguan bocil, setelah ashar bangun dari tempat tidur, ke dapur, masak, makan bareng anak dan suami smabil nonton TV. Itu sudah sangat cukup, Mbak. Kurasa semua medali atau piala sudah kudapatkan, nggak ada yang kucari lagi. Hidup seperti itu saja aku sudah bahagia.

    BalasHapus
  12. Aku jadi tau gosip terkini, hehehe.. aku Uda mulai detoks sosmed, ka Tanti... Dan memang efeknya jadi luar biasa ke diri sendiri sih yaa.. jadi gak banyak tau urusan orang dan mungkin jadi lebih fokus ke diri sendiri juga.

    Terlalu banyak hal yang masuk ke hidup memang jadinya banjir informasi.. sehingga bikin ga bahagia dan kadang teruuss aja nyari info begini dan begitu..

    Lelah sekalii..
    Jadi memang yang tau bahagia kita yaa.. diri kita sendiri yaa..

    BalasHapus

Posting Komentar

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)

Postingan Populer