SIMPOSIUM NASIONAL MPR RI DENGAN TEMA EKONOMI PANCASILA (1)

Tepuk tangan membahana ketika dengan tegas Jusuf Kalla menyatakan, 
"Terima saja para pengungsi itu! Berapapun banyaknya, terima saja. Karena itulah implementasi nyata wujud sila ke 2 Pancasila! "

Itu hanya sepotong kalimat dengan pernyataan dan quote menarik sepanjang pak JK berbicara.

Yes, rasanya tidak sia sia aku datang hari ini , Rabu 12 Juli 2017 dari pagi pukul.09.30 hingga 17.00. Terus, ngumpulin quote orang-orang terkenal gitu, Neng? 


Ya enggalah, banyak dapat ilmu! Eh.. quote juga ...



Menghadirkan Bapak Wapres Jusuf Kalla, Ketua MPR Zulkifli Hasan dan Ketua Lembaga Pengkajian MPR Rully Chairul Azwar, Simposium Nasional di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta ini sangat padat ilmu. 

Di antara tamu undangan, terlihat Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Wakil Ketua MPR Oesman Sapta, pimpinan fraksi dan kelompok anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di MPR, para pimpinan badan MPR, para pimpinan Lembaga Pengkajian MPR, pimpinan komisi DPR, serta pimpinan Komite DPD.

Sejumlah tokoh besar juga terlihat, seperti Permadi SH, Dien Syamsudin, Prof. Sri Edi Swasono dan masih banyak lagi. Sebagian hadir sebagai narasumber. 

Simposium nasional tersebut diselenggarakan dengan tema Sistem Perekonomian Nasional untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial sesuai UUD tahun 1945.

Tema yang berat. Bukan tema yang selintas hari ini selesai diperbincangkan. Tapi minimal dengan mengikuti seluruh simposium hari ini rasanya sih agak tercerahkan. 

 Tema critical ini,  tentu bukan hanya kali ini saja diangkat. Patut menjadi perenungan apalagi sejak kata Pancasila diangkat dan diaduk menjadi tema ..... Pilkada dan bla bla bla hal tak relevan lainnya. 

Jika mengacu pada kalimat Bapak Jusuf Kalla, beliau menitik beratkan pada kesadaran bagaimana caranya mengimplementasi Pancasila menjadi satu hal konkrit.  

Nyata.  


Bukan slogan doang!  #tante Neng emosi...  

RANGKAIAN ACARA PEMBUKAAN SIMPOSIUM
1. Sambutan Ketua MPR Zulkifli Hasan dan Rully Chairul Azwar, Ketua Lembaga Pengkajian MPR

Pagi jam 09.00 sudah dimulai dengan registrasi tamu undangan. Jam 10.30 teng,  semua hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya (entah kenapa, selalu merinding kalau mendengar lagu ini). 

Rully Chairul Azwar membuka acara simposium dengan mengatakan, hari ini bertepatan dengan peringatan Hari Koperasi.

Jadi nanti, Simposium akan membahas ketidak setujuan akan sistem imperialisme dan kapitalisme serta liberalisme. (Hmmmh.... benarkah?)

Buat MPR, sangat relevan jika tema ini diangkat karena memberikan refleksi ulang pada pemikiran pendahulu. Kok bisa?

Yuk kita simak bareng.. 

Akika aku mengenal sosok pak Zul ini sejak diundang ke acara Bincang Bersama MPR 
beberapa waktu lalu. 

Ada di tulisan ini: 

NGOPI CANTIK SORE BERSAMA MPR RI DAN NETIZEN

So, paham banget-banget waktu pak Zul ngomong gini, "Sebagai rumah rakyat Indonesia, MPR kedatangan berbagai elemen masyarakat yang menyampaikan banyaknya ketimpangan kesejahteraan dan pengelolaan sumber daya alam. Semua itu fakta dan sangat nyata, terutama soal lahan."
Di Indonesia tuh, pemerataan perkembangan penduduk seolah tidak rata, dan itu bener. 

Aku pernah mukim di Kalimantan Timur -di beberapa pulau- dan emang, dengan wilayah lebih luas plus kekayaan alam "extraordinary thing", tidak imbang dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut.

Teman-temanku -yang penduduk asli- hidup di bawah garis miskin. Waktu aku SD tahun 1979, seingatku ada yang masuk sekolah ngga pake sepatu. Sebelum sekolah cari kayu bakar. Ketua kelas SDN 1 di Nunukan, namanya Petrus. Ia orang Timor dan pintar pake banget (soalnya juga udah dewasa, aku usia 9 tahun, teman-teman sekelasku ada yang berusia 15 tahun, dan bahkan ada yang 17 tahun!)

Sst.. aku ngga punya foto-foto di Nunukan, karena waktu pindahan, barang-barang sebagian besar pada membusuk kena air laut. But, kita bisa lihat Nunukan itu seperti apa dari foto yang aku pinjam dari Ransel Kecil.

Pinjam foto ranselkecil.com
Nah, liat kan, di sepanjang bantaran sungai ini, sebagian teman-teman kecilku bermukim. Belum tahu lagi, sih Nunukan seperti apa, tapi kata Pemdanya udah maju. Majunya seperti apa? Well... tahun 2012 saja, bensin masih langka (dijual ilegal 600 cc seharga 18K), dan hingga kini, pemadaman lampu itu hal biasa!

Padahal, bukan rahasia umum jika di Kalimantan ada segelintir orang yang memiliki kekuatan finansial sangat besar. Dengar-dengar, bahkan seharusnya masuk Top 100 Rich People In The World, entah versi apa ya.. but, it's true!


KEKUATAN PASAL 33 UUD NRI 1945

“Semestinya, sebagian besar lahan dikuasai rakyat untuk digunakan di bidang perekonomian, seperti pertanian, perkebunan, serta peternakan, sehingga jika terjadi kenaikan harga komoditas, akan terdampak langsung pada rakyat dan kesejahteraan otomatis akan naik. Jika ini dibiarkan terus menerus, bangsa ini patut mempertanyakan keberadaan Pasal 33 (UUD NRI Tahun 1945). Seperti itulah kebanyakan rakyat mengadu,” ujar pak Zul, yang diikuti oleh manggut-manggutnya sebagian kepala di ruangan nusantara IV.  
Semoga manggut-manggutnya karena mengerti, ya.. bukan karena latah.... plak!

Intinya, pak Zul menjelaskan, sistem perekonomian nasional yang ber-Pancasila harus "berbicara dan terimplementasi". (Lebih jelasnya nanti ada di speech pak JK) 


Pasal tersebut serta pembukaan UUD sangat jelas bunyinya, yakni semangat menuju kemakmuran bersama. Pada Pasal 33 jelas mengatakan usaha disusun sebagai usaha bersama, gotong royong, juga kebersamaan. Demokrasi Pancasila seharusnya melahirkan keadilan dan kesejahteraan bersama. “Patut digaris bawahi bahwa pembahasan soal kesenjangan ini bukan menyalahkan siapa-siapa, termasuk menyalahkan pemerintahan sekarang. Masalah ini memang merupakan permasalahan lama dan sekarang menjadi masalah yang harus kita hadapi bersama,” katanya.

Zulkifli berharap hasil simposium ini dapat menjadi bahan dan masukan MPR dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya sesuai amanat Pasal 5 huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), yakni mengkaji sistem ketatanegaraan, konstitusi, serta pelaksanaanny

Ketua Lembaga Pengkajian Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) Rully Chairul Azwar mengatakan Lembaga Pengkajian MPR menangkap berbagai kegundahan masyarakat Indonesia terkait dengan pelaksanaan tataran implementasi perekonomian nasional Indonesia yang dirasakan masih jauh dari semangat dan amanah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33.

Berdasarkan hasil kajian sementara Lembaga Pengkajian MPR, ditemukan fakta menarik bahwa pada tiap era pemerintahan sejak kemerdekaan, terjadi kesenjangan serta perbedaan nyata antara visi ekonomi konstitusi, seperti di dalam UUD 1945 dan kenyataan penerapan kebijakan yang diambil di bidang perekonomian di lapangan.

Prioritas kebijakan ekonomi lebih mengutamakan kepentingan akumulasi modal untuk pertumbuhan ekonomi daripada pemerataan keadilan sosial bagi seluruh warga negara.

“Kenyataan semacam itu tentu patut menjadi perenungan kita semua. Karena secara ideal, rancang bangun sistem perekonomian Indonesia yang digagas founding fathers, Soekarno dan Hatta jelas termuat dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam kerangka keadilan atau kesejahteraan sosial itulah, para founding fathers menolak kapitalisme liberal. Sebab, dinilai sebagai akar ketimpangan sosial,” kata Rully dalam acara Simposium Nasional Lembaga Pengkajian MPR RI bertajuk “Sistem Perekonomian Nasional untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Berdasarkan UUD 1945” di Gedung Nusantara IV, Kompleks Gedung MPR, Senayan, Jakarta, Rabu, 12 Juli 2017.

Rully menjelaskan, masalah ketimpangan sosial yang sangat tinggi menjadi permasalahan berat bagi Indonesia. Ketimpangan sosial haruslah dijadikan fokus perhatian dan sebagai masalah urgen bagi semua pihak. Pasalnya, jika masalah pemerataan dan ketimpangan sosial tidak ditangani secara tepat serta benar, hal itu bisa memicu konflik juga kekerasan sosial yang akan merugikan stabilitas pembangunan nasional.

Patut disadari bahwa pemerataan dan penuntasan ketimpangan sosial adalah masalah yang sangat urgen karena bisa menghambat pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Ketimpangan juga menjadi akar konflik sosial, kejahatan, juga kekerasan. Bahkan ketimpangan sosial bisa mengancam kohesi sosial dan politik.

“Berdasarkan itulah, pimpinan MPR menugaskan Lembaga Pengkajian MPR sebagai lembaga dengan fungsi ‘Laboratorium Konstitusi’ untuk melakukan pengkajian topik Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial,” ujarnya.

Proses kajian yang dilakukan sejak Februari 2017 melalui serangkaian diskusi terbatas yang menghadirkan beberapa tokoh, di antaranya Prof Boediono, Prof Emil Salim, Prof Ginandjar Kartasasmita, Prof Edi Swasono, Prof Jimly Asshiddiqie, dan Prof Dawam Rahardjo. Selain itu, Lembaga Pengkajian MPR mengadakan serangkaian focus group discussion di empat provinsi bekerja sama dengan Universitas Pandjajaran, Universitas Udayana, Universitas Diponegoro, serta Universitas Gadjah Mada. Pada akhir Mei 2017, diselenggarakan round table discussion yang menghadirkan 12 pakar ekonomi juga politik.

“Bertepatan dengan Hari Koperasi ke-70 pada 12 Juli 2017, Lembaga Pengkajian MPR menyelenggarakan sebuah simposium bertajuk “Sistem Perekonomian Nasional untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Berdasarkan UUD 1945” sebagai puncak dari rangkaian kajian tersebut,” ujarnya

Dalam simposium tersebut, dibahas makalah kunci yang telah disiapkan Steering Comittee dari Lembaga Pengkajian MPR yang akan disampaikan Prof Didik J Rachbini selaku Ketua Steering Comitte.

“Makalah kunci ini memuat hasil kajian sementara yang telah dihimpun Lembaga Pengkajian dalam sebuah buku yang berjudul sementara Ekonomi Pancasila. Selanjutnya, akan disempurnakan dalam simposium,” ujarnya



4 komentar

  1. Ini baru hari ini acaranya kan, Mbak? Dan langsung jadi postingan. Salut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah, biar ngga penasaran, kan ika, makasih yaa

      Hapus

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)