Menghargai Diri Secara Jujur dan Diplomatis: Stay Authentic, Stay Valuable!


    Pernah nggak sih,  lagi di sebuah meeting, networking event, atau bahkan nongkrong sama teman-teman, terus tiba-tiba ada yang nyebut pencapaiannya:

     “Eeeh eeh gaes, betewe betewe .. aku baru closing project 6 digit minggu ini,         looh!” (tertawa 'gatel' di mataku)

atau 

    "Apa kabaaar Fitaaa? Kemane aje?"
    "Ih baik, gak kok ga kemana-mana" (sambil cipika cipiki) disambung dengan         nada seolah lupa, “Oh, kemaren itu ya, ga beredar? Aku baru balik dari             business trip ke Eropa.”

    Wajar kalau di momen itu kita ngerasa, “Wah, keren banget ya dia…” lalu diam-diam mikir, “Terus, aku apa kabar?”

    Nah, di sini penting banget menghargai diri sendiri secara jujur dan diplomatis.
Kenapa? Karena kalau kita nggak punya self-awareness dan self-worth, kita gampang banget merasa kecil hanya karena nggak punya apa yang orang lain punya.

Becanda Yang Nyelekit dan Bagaimana Cara Membalikkan Keadaan dengan Elegan?



    Kadang ya, kata-kata yang dilempar sambil ketawa itu lebih nusuk daripada kritik serius. Kayak kemarin, pas karaoke mendadak—padahal aku bukan tipe yang doyan nyanyi—aku awalnya cuma diem aja, duduk manis. Tapi suasana rame bikin aku akhirnya ikutan joget. 

    Eh, tiba-tiba keluar komentar yang katanya bercanda: “Ntar kecengklak lagi, nih nenek-nenek… atau itu ekspresi kegatalan ya?” Aku senyum aja, pura-pura nggak peduli, padahal di dalam hati rasanya nyelekit. Dari situ aku sadar, menghargai diri sendiri itu bukan cuma soal menjaga perasaan orang lain, tapi juga berani jujur sama diri sendiri. Stay authentic, stay valuable. 

    Dan ternyata, ada cara elegan buat membalikkan keadaan tanpa harus marah: cukup balas dengan satir halus. Misalnya; 

    “Iya dong, nenek-nenek aja masih luwes joget, yang muda jangan kalah yaa,” atau 

    “Betul, gatal pengen happy. Kalau kamu ikut joget, mungkin ikutan ketularan seneng juga.” 

Kalimat sederhana tapi nyelekit manis. Biar yang ngomong mikir, “Oh, iya juga ya.” Karena pada akhirnya, kita bisa tetap anggun sekaligus punya benteng: nggak mudah diremehkan, tapi juga nggak kehilangan senyum

Boleh Banget Ngakuin Kehebatan Orang Lain, Tapi...

    Yes, kita boleh banget kasih apresiasi. Acknowledgement itu penting—ini bukan tentang insecure, tapi tentang profesionalitas. Misalnya bilang:

    “Congrats ya atas pencapaiannya! Keren banget bisa manage project sebesar itu.”
Itu menunjukkan kita punya attitude yang positif dan mampu celebrate others’s success.
Tapi di sisi lain, jangan sampai itu bikin kita drop atau minder. Ingat, value kita nggak cuma diukur dari satu indikator kayak kekayaan, jabatan, atau exposure.

Lihat Diri Secara Jujur: Apa yang Ikonik dari Kamu?

Kalau boleh jujur, setiap orang punya unique selling point (USP)—ini istilah yang sering dipakai di corporate branding, tapi relevan juga buat personal branding.

Coba tanya diri sendiri:

✅ Apa yang paling ikonik dari diri kamu?
✅ Apa impact-nya buat sekitar?

Contoh nih:
  • “Aku punya skill komunikasi yang natural.” Impact-nya? Kamu bisa jadi jembatan antar tim, bikin kerjaan lebih smooth dan minim miskomunikasi.
  • “Aku orangnya detail-oriented.” Impact? Semua report yang kamu handle rapi, bikin decision making di tim lebih akurat.
  • “Aku gampang adaptasi di situasi apapun.” Impact? Kamu selalu bisa survive bahkan di proyek paling chaos sekalipun.

See? Itu semua big value yang nggak semua orang punya.

Stay Confident, Stay Humble



    Being confident bukan berarti sombong. Ini tentang owning your value dan tahu bahwa kamu punya kapasitas untuk sejajar di setiap meja diskusi, tanpa harus jadi orang lain.

Karena pada akhirnya, impact > image. Bukan seberapa banyak pencapaian yang kita post di LinkedIn, tapi seberapa besar kontribusi kita di circle kita.

Key takeaway-nya:
  • Appreciate orang lain tanpa merasa minder.
  • Jujur lihat kelebihan diri sendiri (dan akui itu!).
  • Tentukan USP kamu dan pahami impact-nya.
  • Ingat, you are a brand, so maintain your positioning with confidence.

Pareeeeng..... 

Komentar

  1. Ini yang jarang orang lakukan. Kalau sudah mendengar orang membeberkan pencapaiannya, banyak yang sudah minder duluan. Tanpa mau mengakui kekuatan dirinya sendiri.

    BalasHapus
  2. huhuhu pernah banget nih
    Saya diundang jadi narasumber di pertemuan IWAPI Jabar
    ngobrolnya dong: tinggi banget!
    akhirnya mereka diam sesudah saya masuk ke materi zero waste lifestyle
    (tau sendirilah Bandung punya seabrek masalah sampah)
    Mereka terdiam, antara gak paham dan merenung tentang masalah kronis ini

    BalasHapus
  3. Kalau aku pribadi lebih milih being natural tapi dengan lingkungan pertemanan yang solid. Gak perlu banyak jumlah orangnya yang penting bisa menerima kita apa adanya. Teman yang bikin kita tertawa lepas, tidak pura-pura bahagia, dan tidak pura-pura akrab. Kalau ketemu yang "antik" biasanya aku membatasi diri. Apalagi ke mereka yang terkadang atau mungkin sering tidak bisa "menyekolahkan" sikap dan mulutnya (ngekek). Kepada mereka cukup kenal saja. InshaAllah dengan cara ini, hidup kita gak sesak dengan toxic.

    BTW, kenapa letak tulisannya kurang rapi gitu Tan? Settingannya apa ya?

    BalasHapus
  4. Engga tahu kenapa, akhir-akhir ini males loh kumpul sama temen seangkatan/seumuran. Kalau ketemu flexingnya engga kira-kira. Aku jadinya lebih suka kumpul sama yg muda-muda, lagian...mungkin karena blogger/sering nulis, nyambung aja tuh ngobrol sama mereka. Ngobrolin cripto, tau (walaupun engga main cripto), ngobrolin AI hayuk, pilihan investasi-bisa juga dikit-dikit, curhat parenting saling sharing lah. Parenting pun selalu ada ilmu baru kok...Asal jangan ngomongin politik aja sih...hehe...

    BalasHapus

Posting Komentar

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)

Postingan Populer