Lima Hari di Jogja Bersama Mungil : Jogja, Sahabat, dan Hidup yang Terus Berjalan (part 2)

Hari 3 (14 Agustus): Pasar Ngasem, Pantai Indrayanti, Obelix Seaview dan Sate Klatak Pak Pong

 
Setelah drama cape - baca di SINI - akhirnya baladewa tiduuurrr puleeessss.. tapi eits, ga bisa lama-lama, jam 4 sudah mulai pada bersahut-sahutan dan.... antre kamar mandi!

As always, aku selalu mandi duluan karena takut ketinggalan (maklum kalo beberes anaknya suka lemot).

Jam 6 pagi dijemput Mr Tonce, langsung sarapan di Pasar Ngasem. 

Aku, mbak Iya, Yuni, dan Evi kali ini makan jenang manis legit, makan aneka wedhang sementara bu haji (Amie) dan Yayu tim bubur gudeg. 

Bubur gudheg di Pasar Ngasem, Yogyakarta ini salah satu kuliner unik yang jarang ditemukan di tempat lain. Kalau biasanya gudeg identik dengan nasi, di sini gudegnya disajikan bersama bubur halus gurih yang terbuat dari beras, mirip bubur ayam tapi teksturnya lebih lembut.

Seru? Tentu saja! Sepertinya semua yang ada di Pasar Ngasem itu menggiurkan untuk dicomot!

Perut happy, perjalanan lanjut ke Pantai Indrayanti.

Kalau dari Kota Yogyakarta ke Pantai Indrayanti biasanya butuh waktu sekitar 2 jam – 2,5 jam perjalanan naik mobil atau motor, tergantung macet apa enggaknya. Rutenya lewat Wonosari (Gunungkidul) yang jalannya udah mulus banget, walau ada beberapa tanjakan dan turunan khas pegunungan. Jadi siapin bensin full dan mental kuat ya, karena jalurnya lumayan berkelok.

Nah, kenapa di Gunungkidul banyak banget pantai? Karena daerah ini tuh punya garis pantai panjang di selatan yang langsung menghadap Samudra Hindia. 

Makanya tiap beberapa kilometer aja kita udah bisa nemuin pantai dengan karakter yang beda-beda. Ada yang berpasir putih kayak Indrayanti, ada yang penuh batu karang, ada juga yang cocok buat camping atau sekadar healing tipis-tipis. Jadi sekali jalan ke sana, bisa sekalian hopping pantai, nggak cuma satu spot doang. 

Gara-gara kami - Si Mungil- ngobrol tentang destinasi pantai - jadi pada pengen ke Bali dong! Jadi inget temenku Blogger Surabaya yang di blog-nya juga pernah bahas tentang Bali deeeh...  



Obelix Seaview, Chilling at the Beach



Nama Obelix Sea View itu sebenarnya diambil dari branding keluarga wisata "Obelix" di Jogja. Sebelumnya sudah ada Obelix Hills dan Obelix Village yang populer, jadi saat buka destinasi baru di tebing pantai Gunungkidul, mereka tetap pakai nama "Obelix" biar gampang dikenali wisatawan. 

Kata "Sea View" jelas banget nunjukin kelebihannya: spot ini memang juara kalau mau lihat laut lepas dari ketinggian.

Btw. apa saja sih objek dan daya tarik Obelix Seaview ini, selain emang tempatnya yang super kece itu?
  • The Swings → ayunan tinggi dengan background langit sore
  • The Edge at Rock Bar → duduk di tebing batu sambil lihat panorama Prambanan & Candi Sojiwan.
  • Skydeck Glass Floor → lantai kaca buat foto aesthetic.
  • Bean Bag Area → spot nongkrong santai dengan view langsung ke bawah kota Jogja
  • Sunset View → ini andalan banget, golden hour di Obelix Hills tuh cakeeep banget.

Sorenya, jam 16.00 eeh udah ada live music dari HD90 Band— dengan vokalisnya Randy yang suaranya beda tipis (ama beda nasib sama mas Ari Lasso) vibes-nya bikin lupa kalau besok ada kerjaan numpuk di kantor... Mungil pun bersantai dengerin live music sambil ngeliat para monyet di tebing dan bibir pantai.

Kami ngga makan karena rencana kan malamnya mau "makan berat" tuh. Jadi pulang dari Obelix kami mampir makan gelato abal-abal. Aku dan Yuni cekikikan terus karena di gelato tersebut aku "nodong" mas penjual untuk nambahin gelato-ku! Huuuh.. dasar emak ga ada etika!

Sate Klatak Pak Pong



Malamnya, mampir ke Sate Klatak Pak Pong, dagingnya super juicy, bikin speechless karena endeeeus pol! Sayang satu piring isinya cuman 2 tusuk, walau tusuknya gedeee gitu ya (karena terbuat dari jeruji ban sepeda!)

Aku sih makan yang sate doang (aku juga lupa namanya apa, tapi punyaku ngga ditusuk - digoreng aja gitu). Setelah itu kami pulang ke Yogya, tapi sebelum balik, Yayu mampir rumah saudaranya alm. Mas Bayu (posisinya pas di depan Tempo Gelato). Jadi minus Yayu, kami yang lain langsung menyerbu es krim estetik nan vintage di Tempo!



Hari 4 (15 Agustus): Tanjakan Tajam Tumpeng Menoreh & Drama Perut



Pagi-pagi sarapan Soto Kadipiro. Apa itu?

Soto Kadipiro itu salah satu kuliner legendaris di Jogja, Mbaknyaaa. Berdirinya udah sejak 1921, jadi umurnya lebih dari 100 tahun! Lokasinya ada di daerah Wirobrajan, tepatnya Jalan Wates, dan cabangnya sekarang udah lumayan banyak.

Ciri khasnya:

  • Kuahnya bening, bukan yang santan.

  • Rasa gurih segar, ringan, tapi bikin nagih.

  • Isiannya ada suwiran ayam kampung, bihun, tauge, kol, tomat, dan kadang ditambah perkedel atau sate-satean khas soto.

  • Disajikan pakai nasi dalam mangkuk (nasi campur soto, bukan dipisah).

Banyak yang bilang, kalau mau cari soto asli Jogja yang nggak neko-neko tapi ngangenin, ya Soto Kadipiro jawabannya!

Udah kenyang, kami terus meluncur ke Tumpeng Menoreh, Kulonprogo.  Tak kusangka tak kudugaaaa.. tanjakan-tanjakannya bikin teriak “uwuuuw” kayak liat gaji masuk rekening.

Gile beneeer... 
kalo bukan driver asli Yogya yang nyalinya segede alaihim, mending jangan coba-coba deh yaaa!

Beruntung banget, Amie -sahabat dan sesepuh Mungil- emang sering banget bisnis sekaligus jalan-jalan ke Yogya. Rental mobil plus driver handal andalan Amie ini patut diacungin jempol semua deh! 

Oya, masuk ke area Tumpeng Menoreh ini kami hanya di-charge 50 ribu. Karena gondola rusak, tiket cuma 50 ribu udah termasuk makan siang—rejeki anak soleh!

Tumpeng Menoreh itu adalah destinasi wisata baru di Kulon Progo, Jogja. Lokasinya ada di Desa Nglinggo, Samigaluh, di kawasan Perbukitan Menoreh.

Kenapa namanya Tumpeng Menoreh?
Karena bentuk bangunannya kayak tumpeng raksasa (kerucut nasi tumpeng).

Dari puncaknya, pengunjung bisa lihat 360 derajat view perbukitan, sunrise, sunset, bahkan kalau lagi cerah bisa kelihatan Gunung Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing, sampai Laut Selatan.

Kelebihan Tumpeng Menoreh ini banyak banget bestie :
  • Spot foto keren parah karena ada di ketinggian ±1.000 mdpl.
  • Suasananya adem dan segar, jauh dari hiruk pikuk kota.
  • Ada café/resto dengan konsep sky view, jadi bisa nongkrong sambil lihat lautan awan.
  • Cocok buat healing tipis-tipis ala budak korporat atau ibu-ibu Rojali (rombongan jarang liburan).

Setelah itu kami ke Gamplong, Studio Alam milik mas Hanung dan mbak Zaskia adyamecca itu. Ada apa aja di Gamplong dan besok sebelum pulang, ngapain aja? Tunggu yaaa!

Komentar

  1. Lima hari di Jogja pasti penuh cerita, apalagi ditemani sahabat mungil yang bikin perjalanan makin berkesan. Jogja memang selalu punya cara sendiri untuk meninggalkan kenangan, dari suasana kotanya, makanan, sampai momen-momen kecil yang nggak terlupakan. Jadi pengingat juga kalau hidup memang terus berjalan, tapi kenangan baik akan selalu tinggal di hati. 💛✨ Btw aku pengen banget ke Obelix tapi blum kesampaian.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Obelix worth to see mbaaaak! You have to go there!

      Hapus

Posting Komentar

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)

Postingan Populer