Petaka Di Balik Pelangi



Petaka Di Balik Pelangi
By : Tanti Amelia
 Awan hitam berselaput abu-abu perak itu datang. Uff! Untung saja aku melihatnya sebelum rinai gerimis pertama menjejak tanah. Aku tak boleh terlambat. Sekarang atau.. lima puluh tahun lagi! Aku berlari ke gudang penyimpanan gandum di atas kandang Si Belang, sapi Nenek. Kuturunkan guci cokelat milik Nenek Griselda  dengan susah payah, lalu membawanya mendaki tanjakan bukit Meadows Mist. 
 
image source: wikipedia
“Jovankaa!” Sebuah teriakan bernada serak dan berat terdengar dari kaki bukit.
           
“Hooss..hosss… iyaaa..hh..!” Balasku. Jonah, anak petani yang tinggal di dekat rumahku. Aku lupa, sore ini kami berjanji akan bertemu di Singsong Wood,  memetik bunga adenium ungu, kesukaanku. Kutaruh guci dan berlari hingga melihat tubuhnya terlihat jauh di bawahku.

“Jonah! Tunggu aku usai hujan ini, ya?” Kutunjuk lumbung beratap merah. Kuberi isyarat agar ia menungguku di sana. Ia mengacungkan jempol sambil menyeringai.

Craak! Petir menyambar pohon hickory wattle. Itu dia! Aku menghampiri pohon tersebut lalu menaruh guci cokelat Nenek di bawahnya. Aku menunggu di bawah pohon cherry. Tak lama, dewa langit menumpahkan bejana raksasanya hingga air meruah. Bunga-bunga putri malu menguncup seolah tak kuasa menahan tikaman air yang runcing.

Yup. Aku tinggal bersama Ibu dan Nenek di desa Hawthorne sejak setahun belakangan ini. Ibu dan Ayah memutuskan bahwa mereka “sudah tak bisa membahas apapun bersama lagi”. Iiish..rolling eyes.

Aku sedang membersihkan gudang untuk kamarku, ketika sepucuk surat bersampul ungu yang antik terjatuh dari atas lemari tua. Bunyinya begini:

Tepat ketika awan hitam gelap dengan semburat abu-abu perak timbul
Sekali dalam lima puluh tahun di musim gugur
Guci cokelat bergambar keping emas
Pohon pertama yang terkena sambaran cahaya langit
Usai hujan petang, tunggulah sejenak
Ambil seperlunya, tak usah semua
Karena keserakahan berujung pada petaka
Violetta Brownlightning
1831

Violetta Brownlightning adalah nenek dari Nenek Griselda. Butuh waktu agak lama mengartikan surat berbentuk puisi itu. Aku menduga –dan berharap, tentu- ada sesuatu yang berhubungan dengan legenda leprechaun -peri kerdil pembawa emas di ujung pelangi- ha ha.. masak aku percaya hal seperti itu? Tapi, seandainya benar, bagaimana?


“Nek, guci cokelat di atas kandang Si Belang itu untukku ya?” tanyaku pada Nenek yang sedang mengaduk adonan telur. Gerakan tangannya terhenti sejenak.
“Yah, guci itu sudah tua dan retak, kan?” Jawab Nenek. Dari samping kulihat sudut bibirnya terangkat ke atas. Tersenyum tipis.
“Oh? Aku ingin mengisinya dengan jerami untuk si Pussy berbaring. Oya, Nek. Musim gugur ini, sudah musim gugur ke berapa, yah sejak musim salju terpanjang di desa Hawthorne?” Aku mengejarnya dengan pertanyaan, sambil menuang segelas susu dingin.
“Hmm, kalau tak salah, musim gugur ke tujuh. Kenapa kau tanyakan, Jovanka?” Mata kelabu Nenek menatapku. Sorot matanya menyelidiki.
“Nggak, Nek. Jovan ingin bermain seluncur es dengan Jonah. Boleh ya, Nek?” Dustaku manis.
“Boleh, Nenek masih menyimpan kereta luncur Kakek di gudang bawah tanah. Nanti dibersihkan saja.”
Cup! Aku mencium pipinya. “Terimakasih, Nek!” Aku berlari ke luar. Belum sampai di pintu, Nenek memanggilku. “Jovanka!” Aku berhenti dan berbalik.
“Ya, Nek ?”
Nenek mengangkat alisnya sebelah. “Jangan mengambil yang bukan hakmu, oke?” Wah, apakah beliau tahu?
“Iya Nek, nggak akan.”
Aku kan tidak mengambil yang bukan hakku, aku hanya ingin tahu. Dan itu perbedaan yang besar, bukan?

Beberapa hari kemudian, aku melihat awan hitam mulai mendominasi langit. Aku memperhatikan ciri-ciri awan seperti yang ditulis Nenek Violetta. Aku hampir saja menyerah, ketika sore ini awan hitam bergerumbul dengan semburat abu-abu perak melintas. Itu dia!

Nah. Disinilah aku sekarang. Duduk bersedekap kaki di bawah pohon cherry. Bajuku basah kuyup. Aku menggigil, tapi rasa penasaran mengatasi dingin dan takutku.
Sekitar sepuluh menit,  hujan mereda. Aku mendongak. Bias sinar matahari yang melalui tetesan air membentuk busur berwarna. Pelangi! Sebagai anak yang suka sekali pelajaran sains,  aku tahu pelangi hanyalah sebuah fenomena optikal. Tidak mungkin aku bisa mencapai ujungnya. Tapi…

Aku mendekati guci cokelat dengan berdebar. Satu-dua-dan.. emas! Emas dalam bentuk lempengan koin berserak di sekitar pohon. Legenda leprechaun itu benar! Aku meraup koin emas dengan takjub, memasukkan ke dalam guci dan kantong celanaku sebanyak-banyaknya. Hingga terlintas kalimat Nenek Griselda. Jangan mengambil yang bukan hakmu. Lalu tulisan di surat itu, ambil seperlunya.

Dengan menyesal, aku tuangkan semua koin emas di dalam guci, dan hanya membawa di dalam saku celanaku. Tiba-tiba Jonah muncul dari balik pepohonan, diikuti oleh ibu, ayah dan Paman Ben, tetanggaku. Mereka mengintaiku!

“Jovanka, kenapa tidak kamu ambil saja semuanya? Hmm, tapi tidak apa, sisanya masih banyak, bukan?” Ayah Jonah tertawa. Matanya memancarkan sinar licik. Bibi Honey, ibu Jonah berseru.
“Ayo, cepat masukkan semuanya! Ayo, cepat!” Mereka tidak menghiraukanku, berlomba memasukkan koin-koin emas ke dalam karung yang mereka bawa. Aku beringsut pergi diam-diam. Tak kusangka, Jonah mengikuti. Memegang lenganku. Aku berbalik dan menatapnya marah.
        
  “Jo, maafkan aku. Ibu yang bertanya macam-macam tadi. Aku hanya menurut ketika disuruh mengikutimu.”
“Sudahlah, yang penting jangan terlalu banyak yang diambil, Jonah!” Belum sempat Jonah menjawab, ketika ..DUAR! Aaargh…Suara petir menggelegar dan terdengar teriakan yang memilukan. Kami  berbalik, dan melihat tiga sosok manusia menghitam di bawah pohon hickory wattle. Jonah memegang kepalanya, menggeleng keras-keras.

“Ibuuu..! Ayaah..!”

Kami berlari menghampiri. Jonah terisak keras. Bau hangus memenuhi rongga hidungku. Seluruh emas yang tadi sudah hilang! Aku meraba koin emas di saku celanaku. Masih ada. Entahlah. Apakah jika tadi aku masih sibuk mengisi pundi-pundi dan guci cokelat, akan bernasib sama seperti itu?
Aku hanya termangu.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOG NENG TANTI (^_^)